NIKAH KONTRAK DALAM TIMBANGAN AL-QUR’AN DAN SUNNAH
Segala puji hanya milik Allah
Rabb semesta alam, Yang menurunkan Al-Qur’an yang mulia sebagai
petunjuk dan peringatan bagi seluruh makhluk dari kalangan jin dan
manusia.
Semoga shalawat dan salam
tetap tercurah kepada Muhammad sebagai utusan Allah dan manusia sempurna
jiwa dan akalnya, tinggi kedudukannya serta mulia budi pekerti dan
akhlaknya sehingga ucapan dan tindakan beliau menjadi panutan dan suri
tauladan.
Nabi bersabda:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فأنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء.
Wahai pemuda, barangsiapa yang mampu
menikah maka nikahlah karena demikian itu lebih menundukkan pandangan
dan menjaga kemaluan, barangsiapa yang tidak mampu menikah maka wajib
baginya berpuasa sebab hal itu bisa menjadi penyembuh. (H.R Bukhari dan Muslim).
Berbagai dampak negatif media
baik elektronik maupun cetak dan lingkungan yang buruk serta gencarnya
para pendulang kesesatan menjajakan racun pemikiran ditambah lemahnya
kadar keimanan dan kerdilnya keilmuan sebagian Umat Islam maka
terjadilah pergeseran nilai dan muncullah berbagai macam kesesatan dan
penyimpangan dalam praktek beragama terutama soal pernikahan lintas
agama, sehingga membuat perkawinan mudah retak dan bahtera rumah tangga
hancur berantakan bahkan sebagian mereka rela pindah agama demi
kelestarian cinta dan kelangsungan masa depan rumah tangga.
Mereka tidak menyadari bahwa
perkawinan lintas agama banyak memakan korban dan mendatangkan bahaya
baik dari sisi agama dan sosial, maka terjadilah distorsi nilai dan
pendangkalan aqidah ditambah peran misionaris dan kaum aportunis yang
membidikkan panah beracun ke dalam hati umat yang awam sehingga muncul
pergeseran nilai sangat drastis.
Sangat tidak mungkin sebuah
rumah tangga mampu meraih kebahagian abadi dan sukses bila dibangun di
atas agama dan aqidah yang berbeda sehingga Islam dengan tegas melarang
setiap Umat Islam menikah dengan non kecuali seorang muslim menikah
dengan wanita ahli kitab sebagaimana firman Allah: Pada hari ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi
mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjag kehormatan
di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. ( Al Maidah –5).
Bolehnya seorang muslim
menikah dengan wanita ahli kitab bukan tanpa persyaratan bahkan
pembolehan tersebut bersifat makruh, mengingat bahaya yang timbul dari
hasil pernikahan itu. Begitu juga bolehnya pernikahan dengan wanita ahli
kitab bukan sebagai bentuk jastifikasi terhadap aqidah mereka dan
pengakuan terhadap kesesatan mereka.
Boleh jadi pernikahan tersebut
bisa memberi pengaruh buruk pada rumah tangga dan masa depan anak cucu.
Sebab pernikahan akan membuat intensitas pertemuan dan pergaulan
sehingga bisa saja wanita ahli kitab menebarkan benih fitnah di
tengah-tengah keluarga. lambat laun akan hilang perasaan kebencian dan
bahkan mendiamkan kemungkaran sehingga muncul berbagai macam kerusakan
dalam rumah tangga apalagi wanita tersebut seorang misionaris yang
sengaja dipasang untuk menjadi perangkap umat Islam. maka membuat lemah
aktifitas keagamaan dan proses dakwah dan penyadaran kepada nilai
kebaikan dan keutamaan agama maka kesadaran agama juga melemah pada
kebanyakan umat Islam sehingga banyak di antara mereka yang sudah
meninggalkan kewajiban dan masa bodoh terhadap prinsip dasar syareat
bahkan sampai pada puncaknya banyak di antara mereka yang terjebak dalam
berbagai macam maksiat, kemungkaran dan dosa besar.
Inilah menjadi landasan dan
syarat utama ketika seorang muslim menikah dengan wanita ahli kitab
yaitu harus komitmen terhadap ajaran agama, berpegang teguh kepada
tuntunan serta menerapkan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya
bahkan bersikap hormat dan menjunjung tinggi ajaran dan syiar Islam
serta tetap mengikuti petunjuk sirah nabi dan para ulama dan orang-orang
salih.
Demikianlah yang kita fahami
dari ayat-ayat tentang pelarangan menikah dengan non muslim, walaupun
seorang muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab namun para sahabat
sangat berhati-hati bahkan mereka saling memberi nasehat agar
menghindar dari hal tersebut padahal tidak diragukan pemahaman mereka
terhadap Al-Kitab dan Sunnah. Kemudian mereka bukan hanya sekedar paling
terdepan dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan bahkan
mereka mengedepankan sikap hati-hati seperti yang dilakukan Abdullah bin
Umar yang melarang seorang muslim menikah dengan ahli kitab dengan
mengatakan: Aku tidak menganggap bahwa tiada kesyirikan yang lebih besar
dibanding orang yang menyatakan Tahan kami adalah Isa. Padahal Allah
berfirman: Dan janganlah kamu menikah dengan wanita-wanita musyrik
hingga mereka beriman. (Al Baqarah)
Telah diriwayatkan bahwa Jabir
bin Abdullah ditanya tentang pernikahan seorang muslim dengan wanita
Yahudi atau Nashrani maka beliau menjawab: Kami menikah mereka hanya
pada waktu Fathu Makkah karena kami belum mendapatkan wanita muslimah
dengan mudah dan ketika kami kembali ke Madinah maka mereka kami thalak.
Agar para pembaca mendapat
penjelasan lebih akurat dan sempurna sebaiknya membaca buku ini secara
tuntas sehingga memperoleh kesimpulan tuntas dan ulasan pantas serta
mampu menjawab dengan baik berbagai macam syubhat yang dilepar para
musuh Islam dari kalangan orang kafir dan munafik.
Pernikahan Kontrak Tidak Menguntungkan Bagi Laki-laki maupun Wanita
Nikah kontrak atau
sementara waktu bukan jalan keluar yang terbaik untuk menghargai,
mengangkat harkat dan martabat wanita, serta memelihara kesucian dan
melindungi kepribadiannya bahkan demikian itu sebagai bentuk pelecehan
terhadap kehidupan seorang wanita serta menyengsarakan masa depannya dan
membuka peluang besar berbagai bentuk pintu kejahatan dan kemaksiatan.
Boleh jadi pernikahan itu hanya sebagai sarana wanita untuk meraih
kepuasan dan mengeruk keuntungan dunia atau sebagai pembenaran bagi
wanita untuk menyebarkan akhlak tercela seperti menipu, bohong, nifak,
dan mencuri di rumah suaminya untuk memperkaya diri atau mempergauli
sang suami dengan muamalah yang buruk, kurang ikhlas dan tidak tulus
dalam berumah tangga karena sang suami juga kurang tulus karena ia tidak
akan tinggal lama bersamanya. Boleh jadi sang isteri sudah berfikir
untuk menikah dengan laki-laki lain agar setelah lepas dari suami
sekarang langsung bisa menikah dan mempunyai suami baru.
Dampak negatif di atas
bisa menjadi bukti kuat bahwa nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu
menjadikan kehidupan rumah tangga selalu dirundung konflik dan
pertengkaran serta membuat rumah tangga labil dan tidak tentram.
Sehingga mustahil kedua pasangan bisa merealisasikan tujuan dan maksud
berumah tangga yang paling inti yaitu keduanya meraih ketenangan
berfikir, kedamaian hati dan kebahagiaan jiwa.
Dampak Nikah Kontrak Pada masa Depan Anak dan Kehidupan Secara Umum.
Kami tidak menguraikan
dampak negatif yang terkait dengan pendidikan dan kehancuran masa depan
anak baik dari sisi pekerjaan, kesehatan, akhlak dan dampak psikologi
yang berimplikasi kepada kehancuran sosial kehidupan dan kegagalan hidup
secara umum:
Islam Mengharamkan Nikah Kontrak
Oleh sebab itu Islam
menetapkan pernikahan permanen dan mengharamkan pernikahan kontrak dalam
jangka waktu tertentu karena pernikahan seperti itu bisa merusak tujuan
dan maksud utama sebuah pernikahan, dan menjerumuskan kehidupan rumah
tangga ke dalam bahaya dan kerusakan baik dari sisi kehidupan sosial dan
kesehatan dan tidak ada yang tahu dampaknya secara persis kecuali
Allah.
Para ulama yang membolehkan
nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu meletakkan persyaratan
hendaknya mengandung makna nikah selamanya seperti ucapan seorang
laki-laki kepada perempuan “ Saya menikahimu hingga batas waktu dua
ratus tahun”.
Pandangan Islam Terhadap Nikah Mut’ah.
Menurut jumhurul ulama
Islam dan ahli fikih bahwa nikah mut’ah merupakan pernikahan yang bathil
dan tidak memiliki aturan hukum dari konsekwensi hukum berumah tangga.
Tidak ada satu kelompokpun dari Umat Islam yang membolehkan nikah mut’ah
kecuali syi’ah Imamiyah dengan mengambil pedoman dari firman Allah: Dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanta yang bersuami , kecuali
budak-budak yang kamu miliki( Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu slain yang demikian
(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk
berzin. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya(dengan sempurna) sebagai suatu
kewajiban.(An Nisaa’ 24)
Mereka berdalih dengan ayat diatas dengan tiga alasan sebagai berikut:
- Dalam ayat di atas Allah membuat ungkapan dengan lafadz istimta’ bukan dengan lafadz nikah, padahal istimta’ dengan mut’ah memiliki satu makna.
- Allah memerintahkan pada ayat di atas agar seorang laki-laki memberikan upah, sementara mut’ah merupakan akad sewaan untuk mendapatkan manfaat kemaluan.
- Sesungguhnya Allah merintahkan agar seorang laki-laki memberikan upah kepada perempuan setelah menggauli padahal cara yang demikian itu hanya ada pada akad sewa menyewa dan nikah mut’ah. Sementara mahar hanya diberikan ketika proses akad nikah sedang berjalan.
Dalil-dalil dan bantahan para ulama ahli sunnah terhadap kelompok yang menghalalkan nikah mut’ah.
Para ulama ahli sunnah telah membuat bantahan telak terhadap mereka dengan dasar dari Al-Qur’an dan As Sunnah.
Dalil mereka dari Al-Qur’an bahwa Allah berfirman:Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak-budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa yang mencari dibalik itu maka
mereka itulah orang-orang yang melampui batas.(Al Mu’minuun 5-7)
Allah telah menghalalkan wanita
melalui dua cara yaitu; menikah dan perbudakan sementara tidak
menyebutkan mut’ah. Dengan demikian mut’ah bukanlah suatu bentuk
pernikahan yang halal dan mubah.
Nikah mut’ah setelah habis
masa yang telah disepakati tanpa melalui proses thalak dan perceraian,
sementara belum pernah dikenal oleh Islam ada suatu pernikahan yang
berakhir karena perjalanan waktu. Bahkan mut’ah hanyalah proses akad
untuk membuat suatu kesepakatan untuk berpisah dan tidak mempunyai hak
untuk saling mewarisi padahal masalah warisan merupakan konsekwensi
paling utama dalam pernikahan.
Berdasarkan firman Allah: Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Mu’minun 7)
Bahwa Allah menyebut semua
orang yang mencari selain dari menikah dan budak dengan sebutan
melampaui batas maka nikah mut’ah diharamkan.
Adapun dari sunnah banyak hadits-hadits yang menjelaskan secara tegas tentang keharaman nikah mut’ah antara lain:
- Dari Ali bin Thalib bahwa Rasulullah telah melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai piaran pada saat perang Khaibar.
- Begitu juga riwayat dari dua Imam besar, Abu Ja’far Muhammad Al Baqir dan Abu Abdullah Ja’far As Shadiq bahwa keduanya telah meriwayatkan haramnya nikah mut’ah.
- Telah diriwayatkan bahwa Bassam As Shairafy bertanya kepada Abu Abdullah Ja’far tentang hukum dan kedudukan nikah mut’ah? Beliau menjawab: Itu merupakan perzinaan.
- Dalam kitab Al Kafi terdapat sebuah riyawat dari Hasan bin Yahya bin Zaid, seorang ahli fikih dari Iraq berkata: Semua keluarga Rasulullah sepakat bahwa nikah mut’ah dilarang dan mereka membencinya. Dalam hal ini mereka mengikuti imamul Huda, Ali bin Abu Thalib berkata: Tidaklah ada seorang yang menikah mut’ah didatangkan kepadaku melainkan pasti aku akan merajamnya.
- Beliau juga berkata Ibnu Abbas ketika mengeluarkan fatwa bolehnya nikah mut’ah: Sungguh Engkau adalah orang yang sedang salah dan bingung, karena Rasulullah telah menghapus halalnya nikah mut’ah.
- Imam Al Baihaqi berkata: Sungguh tidaklah Ibnu Abbas wafat melainkan telah menarik fatwanya.
- Dari Samurah Al Juhani bahwa Rasulullah telah melarang nikah mut’ah pada saat perang Fathu Makkah.
- Dari Abdullah Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah telah melarang nikah mut’ah dan daging keledai piaraan pada waktu perang Khaibar. Diriwayatkan bahwa ketika itu Rasulullah berdiri di antara makam Ibrahim dan Rukun Yamani dan bersabda:
إني كنت أذنت لكم في المتعة فمن كان عنده شيء فليفارقه ولا تأخذوا مما آتيتموهن شيئا فإن الله قد حرمها إلي يوم القيامة
Sesungguhnya dahulu aku mengizinkan
kepada kalian untuk nikah mut’ah, barangsiapa mengikat sesuatu dengan
nikah itu maka hendaklah melepasnya dan jangan mengambil sesuatu dari
apa yang kalian berikan kepada mereka (wanita mut’ah) karena Allah telah
mengharamkan mut’ah hingga hari kiamat.
Seluruh Umat Islam juga telah
sepakat akan haramnya nikah mut’ah maka tidak ada seorangpun di antara
mereka yang melakukan nikah mut’ah padahal kondisi sangat mendukung
untuk melakukan nikah tersebut.
Adapun logika berbicara bahwa
secara hukum asal tujuan utama pernikahan untuk melestarikan kehidupan
dan memelihara keturunan bukan hanya sekedar sebagai tempat untuk
menyalurkan kebutuhan seksual dan hubungan syahwat. Bahkan keduanya
hanyalah sekedar sarana untuk sampai pada tujuan asli.
Bantahan terhadap dalih mereka dari firman Allah: Dan
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban. (An Nisa’ 24).
Maksud ayat di atas bukan
sebagai penjelasan tentang mut’ah bahkan hanya sebagai penegasan
terhadap nikah syar’i karena teks ayat sebelumnya menjelaskan tentang
wanita-wanita yang haram untuk dinikahi lalu di akhir ayat terdapat
penjelasan tentang pernikahan yang dibolehkan menurut pandangan agama
yaitu dalam Allah berfirman: ( Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk untuk
dikawini bukan untuk berzina. ( An Nisa’ 24).
Artinya lewat pernikahan yang sah bukan untuk berzina dan kumpul kebo.
Sementara kalau kita
memperhatikan ayat tersebut dari awal hingga akhir hanya menguraikan
tentang pernikahan tidak pernah menyebut-nyebut sedikitpun tentang
mut’ah atau nikah kontrak maka wajib memberi makna istimta’ pada ayat di atas dengan makna menikah. Adapun maksud dari Ujur dalam ayat di atas adalah seperti makna dalam firman Allah: Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berikanlah maskawin mereka menurut yang patut. (An Nisa’ 25).
Maksud ujur dalam setiap ayat selalu bermakna mahar seperti firman Allah: hal 45
Tidak seorangpun dari ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ujur (upah) adalah mahar.
Adapun ayat yang mulia yang menyatakan pemberian upah setelah proses istimta’
(bercampur) tidak bisa dijadikan sebagai dalih bolehnya nikah mut’ah.
Secara dhahir pemberian upah setelah menggauli namun dalam ayat tersebut
secara alur makna berbunyi “berikanlah mahar kepada wanita yang kamu
nikahi bila kamu ingin menggaulinya”. Begitu juga firman Allah: Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu
geraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya(yang wajar. (Ath Thalaq 1)
Maksudnya bila kamu hendak menthalak isterimu.
Sumber : http://zainalabidinsyamsuddin.com/