JIHAD NABI DI BUMI
PALESTINA
Pengiriman pasukan ke Mu’tah yang terjadi pada bulan Jumadil Akhir di tahun kedelapan Hijriah, tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus para pembesarnya ke Mu’tah (suatu tempat di Yordan sekarang yang dekat dengan kota Kurk) suatu desa di negeri Syam, dalam rangka menuntut balas atas pembunuhan kaum muslimin di sana. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kempemimpinan kepada maula beliau, Zaid bin Haritsah Radhiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
Pengiriman ini merupakan penyempurna pengriman ayahnya, Zaid bin Haritsah sebelumnya, sekaigus membalas pasukan Romawi yang telah membunuh ayahnya di Mu’tah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pengiriman Usamah beserta pasukannya di saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang menyebabkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalk dunia. Dan pasukan Usamah saat itu berkumpul di Jarfi di saat wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk.
Sesungguhnya aku menyerumu dengan seruan Islam, masuklah ke dalam agama Islam maka engkau akan selamat, dan niscaya Allah akan membalasmu dengan ganjaran dua kali lipat. Jika engkau berpaling, maka sesungguhnya bagimu dosa seluruh pengikutmu ….
Oleh
Syaikh DR Abu Anas Muhammad Musa Alu Nashr
Syaikh DR Abu Anas Muhammad Musa Alu Nashr
Palestina adalah bumi
yang diberkahi, Allah telah menjadikanya sebagai tempat turunnya
risalah-risalah (kenabian), tempat berhimpunnya kebudayaan, tempat hijrah para
NabiNya. Di Palestina terdapat kiblat pertama dan tempat di isra’kannya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di dalamnya pula Dajjal akan binasa melalui
tangan Isa Al-Masih ‘Alaihis Salam, dan di Palestina juga Ya’juj dan Ma’juj
dibinasakan. Serta di dalamnya pula, bebatuan dan pepohonan akan berkata,
“Wahai muslim! Wahai hamba Allah ! Ini ada Yahudi di belakangku, kemarilah dan
bunuhlah dia!”, maka Yahudi-pun akan binasa melalui tangan hamba-hamba Allah
yang shalih di bumi Palestina.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengimami seluruh Nabi di Masjid Al-Aqsa, agar Imamah
(kepemimpinan) dan siyadah (kekuasaan) untuk Islam pada Masjidil Aqsha tetap
langgeng bagi seluruh makhluk. Selama perputaran sejarah, kerajaan-kerajaan dan
negeri-negeri saling bermusuhan untuk memperebutkannya, mereka saling
membinasakan dan mengalahkan dalam rangka menguasainya dan mendudukinya.
Dikarenakan Palestina adalah bumi Allah terpilih yang Allah memilihnya sebagai
tempat hijrah bagi Kalil (kesayangan)-Nya Ibrahim ‘Alaihis Salam dan KalimNya
(Kalim : Orang yang diajak bercakap) yaitu Musa ‘Alaihis Salam, sebagai tempat
kelahiran Isa ‘Alaihis Salam dan tempat isra’nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Di saat kemunculan
Islam, Palestina saat itu dibawah kekuasaan imperium Romawi yang salibis
paganis. Maka merupakan keharusan mensucikan Palestina dari najis-najis mereka.
Nabi telah menulis surat kepada Raja Romawi dan mengutus kepadanya beberapa
utusan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah mengerahkan pasukan dalam jumlah besar, dan Palestina ketika
itu termasuk salah satu bagian negeri Syam. Belum terjadi saat itu adanya
perbatasan wilayah/area yang dibuat oleh perjanjian ‘Saikus Baiku’.
Diantara pasukan-pasukan
yang dikirim Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke negeri Syam dan Palestina
adalah :
Pertama
: Pengiriman pasukan ke Mu’tah
Pengiriman pasukan ke Mu’tah yang terjadi pada bulan Jumadil Akhir di tahun kedelapan Hijriah, tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus para pembesarnya ke Mu’tah (suatu tempat di Yordan sekarang yang dekat dengan kota Kurk) suatu desa di negeri Syam, dalam rangka menuntut balas atas pembunuhan kaum muslimin di sana. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kempemimpinan kepada maula beliau, Zaid bin Haritsah Radhiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنْ قُتِلَ زَيْدٌ فَجَعْفَرٌ وَإِنْ قُتِلَ جَعْفَرٌ فَعَبْدُ
اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ
“Jika Zaid terbunuh maka
Ja’far bin Abi Thalib sebagai penggantinya, jika Ja’far terbunuh, maka Abdullah
bin Rawahah sebagai penggantinya”
Mereka pun keluar dengan
jumlah hampir 3000 pasukan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga turut
keluar mengantarkan mereka disebagian jalan, kemudian mereka melanjutkan
perjalanan hingga tiba di Mi’aan (sebuah kota di selatan Yordan, sejauh 200km
dari Amman) lalu sampailah kabar kepada mereka bahwa Raja Romawi Heraklius
telah keluar bersama seratus ribu pasukan, disertai sekutunya Malik bin Zafilah
dengan seratus ribu pasukan lainnya, dari kaum Nashrani Arab, dari suku Lahmin,
Judzam dan kabilah Qudlo’ah dari suku Bahra’, Balla dan Balqoin.
Lantas kaum muslimin
bermusyawarah di sana, mereka berkata : “Kita tulis surat kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah beliau memerintahkan kita dengan
perintahnya untuk berperang ataukah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengirimkan bantuan kepada kita”.
Maka berkata Abdullah
bin Rawahah Radhiyallahu ‘anhu : “Wahai kaum ! Demi Allah, sesungguhnya apa
yang kalian cari ada didepan kalian, yaitu mati syahid, dan kalian tidaklah
memerangi manusia karena kuantitas maupun kekuatan ! Akan tetapiu kita
memerangi mereka hanyalah semata-mata karena agama ini, yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah memuliakan kita dengannya… maka berangkatlah!!! Karena ada dua
kebaikan menunggu kita di sana : yaitu kemenangan atau mati syahid”.
Para sahabat pun
menyepakatinya, kemudian mereka bangkit. Ketika kaum muslimin berada
diperbatasan Balqa’, mereka bertemu dengan pasukan Romawi dalam jumlah yang
besar, maka kaum muslimin berhenti di dekat Mu’tah, dan pasukan Romawi berada
di desa bernama Masyarif, akhirnya mereka bertemu dan berkecamuklah peperangan
yang dahsyat.
Dan terbunuhlah Amirul
Muslimin Zaid bin Haritsah Radhiyallahu ‘anhu dalam peperangan itu, dan saat
itu bendera berada di tangannya, lantas Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu
‘anhu mengambil bendera tersebut, dan ia turun dari kuda perangnya yang
berambut pirang dan menyembelihnya, kemudian ia maju berperang hingga tangan
kanannya terputus, lalu diraihnya bendera itu dengan tangan kirinya hingga
tangan kirinya terputus pula. Akhirnya ia dekap bendera tersebut dengan dadanya
hingga akhirnya ia Radhiyallahu ‘anhu gugur dalam usia 33 tahun menurut
pendapat yang benar.
Lalu, bendera diambil
oleh Abdullah bin Rawahah Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, sejenak termenung dan
sejurus kemudian ia memantapkan diri dan maju berperang hingga akhirnya turut
terbunuh.
Ada pendapat mengatakan.
Sesungguhnya Tsabit bin Arqam yang memegang bendera selanjutnya, dan kaum muslimin
menghendakinya memimpin mereka, namun ia enggan, maka Khalid bin Walid
Radhiyallahu ‘anhu yang mengambil bendera, ia mengumpulkan kaum muslimin,
kemudian ia membuat tipu daya hingga akhirnya beliau membebaskan kaum muslimin
dari musuh mereka, dan Allah membukakan kemenangan melalui kedua tangannya,
sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan hal ini
kepada para sahabatnya di Madinah pada hari itu, di saat beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebut satu persatu gugurnya para sahabat yang memimpin pasukan kaum muslimin
kepada mereka, dan kedua air mata beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bercucuran. Akhirnya malam hari tiba dan orang-orang kafir berhenti berperang.
Hadits ini terdapat dalam ‘Ash-Shahih’.
Melihat banyaknya jumlah
musuh dan sedikitnya jumlah kaum muslimin dibandingkan mereka, namun tidak
banyak korban dari kaum muslimin yang terbunuh menurut penuturan ahli sejarah.
Mereka tidak menyebutkan nama-nama korban kaum muslimin melainkan hanya sekitar
sepuluh orang saja.
Kaum muslimin pun
akhirnya kembali ke kota Madinah, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga mereka
dari kejahatan kaum kafir. Segala pujian dan sanjungan bagi Allah Subhanahu wa
Ta’ala hanya saja peperangan ini mendasari peperangan melawan Romawi berikutnya
dan mempertakuti musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya
.
Kedua : Pengiriman
Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu
Pengiriman ini merupakan penyempurna pengriman ayahnya, Zaid bin Haritsah sebelumnya, sekaigus membalas pasukan Romawi yang telah membunuh ayahnya di Mu’tah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pengiriman Usamah beserta pasukannya di saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang menyebabkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalk dunia. Dan pasukan Usamah saat itu berkumpul di Jarfi di saat wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Termasuk petunjuk Nabi
kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memulai memerangi seseorang sebelum dakwah sampai kepadanya dan
mengajaknya kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam benar-benar mengikuti manhaj ini sebagai pengejawantahan
berpegang kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau prakltekan manhaj
ini terhadap seluruh kaum yang beliau perangi, baik dari kabilah Arab ataupun
raj-raja dan pembesar di zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan mengirim utusan serta surat-surat mengajak mereka kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengecualikan seorangpun
dari mereka. Diantaranya adalah :
Surat beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Raja Romawi Heraklius. Dari hadits Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhu : Bahwasanya Abu Sufyan mengabarkan : “Aku pernah bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam barang sesaat dan hanya ada aku dan
beliau”, lantas Abu Sufyan berkata : “Tatkala aku di Syam, datang sebuah surat
dari Rasulullah kepada Heraklius, yaitu pemimpin tertinggi Romawi”. Beliau
melanjutkan, “Komandan pasukan yang bernama Kalbi datang dengan surat tersebut,
kemudian dia serahkan kepada Raja Bashra dan Raja Bashra menyerahkannya keada
Heraklius, yang isinya.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Dari Muhammad utusan Allah kepada Raja Romawi Heraklius.
Keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk.
Setelah itu :
Sesungguhnya aku menyerumu dengan seruan Islam, masuklah ke dalam agama Islam maka engkau akan selamat, dan niscaya Allah akan membalasmu dengan ganjaran dua kali lipat. Jika engkau berpaling, maka sesungguhnya bagimu dosa seluruh pengikutmu ….
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا
وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا
يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ
تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakannah : Hai Ahli
Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling
maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah)” [Ali-Imran/3 : 64]
[Disalin dari majalah
Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi 13 Th. III Shafar 1426H/ April 2005M, hal. 18
– 20. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya. Alamat Jalan Iskandar Muda No 46
Surabaya]
disalin dari : Almanhaj.Or.Id