Oleh :
Ustadz Zaenal Abidin Syamsuddin, Lc.
SEKAPUR SIRIH
Rumah tangga bahagia
adalah angan-angan, impin dan harapan
semua insan. Angan-angan kadang menjadi impian, impian menjadi harapan, impian
dan harapan bias menjadi kenyataan namun tidak jarang impian dan harapan hannya
menjadi angan-angan yang melelahkan. Seluruh tenaga telah dikerahkan, seluruh
teori telah dipelajari dan seluruh persyaratan telah dipenuhi untuk mewujudkan
rumah tangga yang bahagia , ada yang berhasil akan tetapi tidak sedikit yang
tidak mampu menghadapi badai rumah tangga yang datang silih berganti, bahkan
tidak jarang badai yang nenghantam berhasil meluluh lantahkan mahlighai rumah
tangga yang telah dibinanya, memporak-porandakan ikatan cinta yang telah
dijalinnya dan menggoncangkan jiwa yang sedang dimadu kasih.
Kebahagiaan hidup bukan karena
banyak nya harta dan tersedianya fasilitas mewah, gaya hidup gelamor pun tidak
bias dijadikan ukuran, banyak dari mereka yang terpenuhi fasilitas hidup dengan
kemewahan, kantong tidak pernah kering dari duit dan jaminan materi tidak
diragukan, tetapi batin mereka banyak yang tersiksa, ketenangan hidup terusik
dan jiwa mereka terancam, maka benar sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam
:
إن لكل أمة فتنة وإن فتنة أمتي المال
“
Sesungguhnya setiap umat ada fitnah
(yang merusaknya ) dan fitnah umat ku dari harta “ [1]
Oleh sebab itu banyak diantara
meraka yang lari dari kenyataan menghadapi problemantika hidup dengan menenggak
minuman keras, menelan obat terlarang dan menghabiskan waktunya di café-café,
alasan meraka untuk mencari ketenangan hidup. Apakah dengan cara seperti itu
ketenangan hidup dan kebahagiaan akan tercapa ? Tidak. Justru kegelisahan hidup
yang akan mereka peroleh karena ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup hanya
bias diperoleh bila hati penuh dengan hidayah dan ketaatan pada pemilik jiwa
yaitu Allah Subahanahu wata’ala , Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُوْلُ : يَا ابْنَ
آدَمَ! تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِيْ، أَمْلأْ صَدْ رَكَ غِنًى، وَأَسُدَّ فَقْرَكَ،
وَإِنْ لاَ تَفْعَلْ مَلأْتُ يَدَكَ شُغْلاً، وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكْ
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam!, beribadahlah sepenuhnya kepadaKu,
niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku
penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan niscaya Aku penuhi tanganmu
dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia) “ [2]
Seluruh manusia dari berbagai macam
profesi, asal-usul dan latar belakang semuannya berharap hidupnya jauh dari
kegelisahan dan kemalangan. Tidak ada jalan paling baik untuk melenyapkan
kegelisahan dan mendatangkan kebahagiaan kecuali dengan mengkonsentrasikin diri
kepada Allah, beramal dengan ikhlas karena Allah dan beribadah sesuai dengan
syariat, menghadapi masalah dengan lapang dada, menyelesaikan problem hidup
dengan tenang hati dan bersifat qona’ah terhadap nasib rezeki yang telah
ditetapkan Allah Subhanahu wata’ala atas hamba- Nya, Itulah maksud
hadist Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam :
ليس الغنى عن كسرة العرض , ولكن الغنى
غنى النفس
“
Bukanlah kaya itu dengan banayaknya harta, tetapi kaya adalah kaya hati.”[3]
Umar bin Khotob Radhiyallohu ‘anhu
berkata : “ Wahai manusia, sesungguhnya sebagian sifat rakus merupakan
bagian dari kemiskinan, didak berharap dari manusia merupakan suatu kecukupan.
Dan sungguh kalian mengumpulkan harat yang tidak kalian makan, kalian
berangan-angan dengan sesuatu yang tidak mungkin kalian gapai. Ketahuilah,
bahwa sebagian dari kikir adalah cabang dari kemunafikan, maka berinfaklah,
karan demikian itu lebih baik buat dirimu.” [4]
Bila para suami maupun istri
membekali dirinya dengan sifat diatas dalam mengarungi bahtera rumah tangganya,
sebesar apapun tantangan dan masalah yang dihadapi dan seberat apapun ujian dan
cobaan yang dialami, maka kebahagiaan hidup dan ketenangan batin tetap
menyapanya.
[disalin dari buku One
Heart “ rumah tangga satu hati satu langkah”, penulis Ustadz Zaenal Abidin
Syamsuddin, Lc. Penerbit Pustaka Imam Bonjol Cetakan Ketiga, Muharram 1436H./
November 2014M. ]
Footnote :
[1] Shahih :
disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-jami’, no.2148
[2] Shahih :
diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam sunannya, no.2584, Imam Ibnu
Majah dalam sunannya, no.4107 dan Imam Hakim dalam mustadraknya, no.3657
dan disepakati oleh adz-Dzahabi, sementara Syaikh al-Albani berkata tentang
hadist ini, memang setatusnya seperti yang dikatakan keduanya. Lihat as-Silsilah
as-Shahihah, no.1359,3/347.
[3] Shahih :
dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, no.1051, Imam at-Tirmdzi
dalam sunannya, no.2373 dan Imam Ibnu Majah dalam sunannya,
no.4137.
[4] Lihat tafsir
Ruhlah Ma’ani, al-Alusi, 3/65-66. Dan lihat Tafsir ad-Duru al-Mantsur,
Imam as-Syuyuthi, 1/262.