Kamis, 22 Oktober 2015

MENJADI KARYAWAN YANG AMANAH

 Amanah Pangkal Kesuksesan


 
Oleh : Al Ustadz Zanal Abidin Syamsuddin .Lc
 



            Sifat amanah memiliki pengaruh penting dalam pergaulan dengan sesama manusia. Begitu pula dalam membangun kemitraan antara pekerja (pegawai) dengan pemilik pekerjaan (pimpinan/majikan) dituntut adanya pemeliharaan terhadap sifat amanah. Tidak lagi diperdebatkan  bahwa menjaga amanah adalah merupakan budi pekerti yang luhur.
         Amanah itu sendiri termasuk sifat yang universal. Artinya sifat ini adalah merupakan sifat mulia yang dapat diterima oleh semua pihak. Allah memasukkan hal ini sebagai bagian karakter yang menonjol pada diri seorang mukmin yang hakiki.
Allah berfirman: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (QS. Al Mukminuun [23]: 8)

            Abu Bakar Ibnul Arabi berkata: Telah kami jelaskan tentang wajibnya menjaga amanah dan perjanjian, kami juga telah jelaskan tentang dalil pentingnya hal tersebut. Hendaklah kamu menunaikan amanah kepada orang yang memberimu amanah, jangan kamu mengkhianatinya. Begitu juga orang yang melanggar kesepakatan denganmu, jangan membuatmu harus merusak kesepakatan dengannya. Barangsiapa kufur kepada Allah karenamu maka kamu jangan kufur dengan-Nya karenanya. Barangsiapa yang menodai perjanjian denganmu maka jangan membuatmu untuk menginkari perjanjian dengannya.[1]
       Ketika seorang muslim menerima amanah maka ia harus memelihara dengan sempurna dan apabila berjanji tidak melanggarnya, karena demikian itu merupakan akhlak dan sifat orang beriman, yang bertolak belakang dengan watak dan tabiat orang munafik. Sebagaimana tertuang dalam hadits shahih: Tanda kemunafikan ada tiga; apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia mengingkari; dan apabila diberi amanah ia khianat. (HR. Muslim, no. 107)
            Oleh karena itu, untuk membangun karakter mulia dan moral terpuji ini, Allah dan Rasulnya memerintahkan seorang muslim untuk menunaikan setiap amanah yang diembannya dan memperingatkan agar tidak berkhianat, karena Allah melarang berkhianat dalam berbagai bentuk usaha sekecil apapun.
            Allah I berfirman: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisaa’ [4]: 58)
            Ibnu Abbas berkata: Ayat ini umum untuk setiap macam amanah, wajib menunaikan amanah baik kepada orang shalih atau orang jahat, seperti silaturrahim wajib ditunaikan  baik kepada yang shalih atau yang jahat. Sedangkan Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud berkata: Kemaluan amanah dan penglihatan amanah, sehingga amanah masuk dalam segala sesuatu; dalam masalah wudhu, shalat, zakat, junub, puasa, dalam masalah timbangan dan takaran serta lebih besar dari itu adalah menjaga barang titipan. Dan tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah.[2]
Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al-Anfaal [8]: 27)
            Adapun perintah Rasulullah yang menunjukkan mulianya sifat amanah, nampak dari perintah Rasulullah n agar menunaikan amanah dan larangan beliau agar tidak berkhianat, meskipun mereka harus berjuang dengan susah payah menghalau segala bentuk pengkhianatan.
             Rasulullah n bersabda: Tunaikan amanah kepada siapa yang telah menyerahkan amanah kepadamu. Dan janganlah engkau mengkhianati orang yang pernah berlaku khianat kepadamu. [3]
            Menurut Imam Ibnu Katsir, pengertian secara umum pelaksanaan amanah dalam ayat di atas, mencakup seluruh amanah ialah mencakup seluruh amanah yang wajib dipenuhi oleh seorang muslim.[4] Yakni berupa hak-hak Allah yang menjadi kewajiban atas dirinya, seperti shalat, zakat, puasa kaffarah, nadzar dan lainnya atau terkait dengan dirinya; seperti menjaga barang titipan, meskipun orang lain tidak mengetahuinya. Allah memerintahkan supaya semua itu ditunaikan secara sempurna. Siapapun yang tidak menunaikan amanah secara baik di dunia, maka Allah akan menuntut darinya pada hari kiamat kelak.
            Membentuk Karakter Amanah
            Sudah menjadi kewajiban setiap pekerja baik karyawan swasta maupun negeri, agar bekerja secara profesional dan menjaga amanah dengan mengalokasikan jam kerja hanya untuk keperluan tugas dan pekerjaan. Karena ketika seseorang melakukan akad atau kontrak atau kesepakatan kerja, baik dengan pihak perorangan, kantor, perusahaan, maupun lembaga tertentu, maka ia telah terikat secara syar’i dengan pekerjaan yang dibebankan oleh pihak kantor kepadanya, sehingga seorang pekerja tidak boleh melakukan pekerjaan untuk kepentingan lain. Begitu pula ia tidak boleh memanfaatkan waktu saat bekerja untuk urusan lain yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan yang menjadi tugasnya.
            Mengapa? Karena dengan akad dan kesepakatan tersebut, berarti waktu bekerja bukan milik sang pegawai, tetapi menjadi milik pekerjaan dan tugas yang telah dibebankan kepadanya sebagai konsekwensi upah atau gaji yang telah diterimanya. Dan seorang muslim sangat terikat dengan kesepakatan yang telah dibuat.
            Adapun orang-orang yang memegang kendali kekuasaan pada suatu lembaga, instansi, kantor, atau departemen manapun, maka ia tidak boleh dengan seenaknya melakukan tindakan di luar tugas kantor atau perusahaan. Sebab, barangsiapa yang menjabat sebagai pemimpin rakyat atau perusahaan, maka ia telah terikat kontrak dan telah menyewakan dirinya untuk kepentingan rakyat atau perusahaan, serta telah menjual waktunya untuk negara atau lembaga dengan konsekwensi gaji dan berbagai macam tunjangan yang diterimanya. Maka seorang muslim tidak boleh menggunakan waktu kerjanya untuk melakukan perkara-perkara nafilah seperti shalat sunnah, i’tikaf, tahajjud dan ibadah-ibadah sunnah lain. Karena menunaikan tugas kerja hukumnya wajib, sementara yang sunnah hanyalah bersifat keutamaan dan nafilah belaka. Sedangkan  pekerjaan dan tugasnya bersifat wajib yang harus ditunaikan. Dan kaidah fikih menetapkan bahwa tidak boleh ibadah sunnah mengalahkan ibadah wajib.
             Sebagaimana halnya seseorang, ia ingin selalu menerima upah atau gajinya secara penuh dan tidak suka bila upah atau gajinya berkurang, meski hanya seribu rupiah, sementara terkadang dengan seenaknya mengurangi jam kerja untuk urusan pribadi. Maka hendaklah tidak mengurangi waktu kerjanya untuk mengerjakan kepentingan dan keperluan pribadi, bahkan harus bekerja secara disiplin dan profesional. Dan sungguh  Allah mencela orang-orang yang curang dalam takaran dan timbangan. Mereka meminta agar haknya dipenuhi, bahkan kalau bisa dilebihkan. Akan tetapi, pada waktu yang sama menyunat hak-hak orang lain dan tidak mau memenuhinya, sebagaimana firman Allah I:
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam. (QS. Al Muthafifin [83]: 1-6)
            Ayat di atas bukan hanya berlaku pada pengurangan takaran dan timbangan belaka, bahkan dalam semua bentuk hak, sebagaimana yang telah ditegaskan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Tafsir Juz Ammanya[5], sehingga ayat di atas menjadi teguran keras bagi para pegawai atau pekerja yang tidak amanah dalam mengalokasikan waktu dan teledor dalam menunaikan tugas namun meminta penuh bayaran gaji dan upah.
Agar seorang pekerja muslim selalu bekerja secara profesional dan menjaga amanah dalam menuaikan kewajiban pekerjaan, maka hendaklah menjaga dan menggunakan waktu sepenuhnya untuk menunaikan tugasnya dan tidak memanfaatkan waktu saat bekerja untuk kepentingan yang bukan menjadi bagian pekerjaannya. Misalnya memanfaatkan waktu kerjanya atau bahkan menghabiskan untuk keluyuran di pasar  atau tempat lainnya atau bahkan pulang ke rumah.
            Tanpa disadari, dengan memanfaatkan waktu yang tidak terkait dengan pekerjaan, hakekatnya ia telah melakukan tindak korupsi dan mengkhianati amanah. Korupsi di sini tidak hanya mengemplang uang negara, perusahaan atau kantor. Akan tetapi, mengurangi jam kantor untuk keperluan pribadi termasuk dalam kategori korupsi. Begitu pula dengan pemandangan yang nampak di perkantoran-perkantoran, seperti bersantai ria tanpa melakukan aktivitas yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya, maka cukuplah permulaan surat al Muthaffifin menjadi teguran keras bagi para pegawai.
            Perbuatan ini sangat ironis, berlawanan dengan tuntutan sang pegawai yang menginginkan agar upah tetap diterima secara penuh, tetapi giliran bekerja ia menyunat waktu kerjanya untuk dimanfaatkan bagi urusan pribadinya yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan pekerjaan. Ia melakukan seenaknya tanpa beban. Kemudian ketika terdapat pengurangan upah, maka ia protes dan mengajukan keberatan.

[1] . Tafsir Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arabi, 3/ 226.
[2] . Lihat Tafsir al-Wasith, al-Wahidi an-Naisaburi, 2/ 70.
[3] . HR.Abu Dawud 3535; at Tirmidzi 1264 dan dishahihkan oleh al Albani dalam ash shahihah  424.
[4] . Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/ 30.
[5] . Lihat Tafsir Juz Amma, Ibnu Utsaimin, Hal. 93-94.

Sumber :  http://zainalabidinsyamsuddin.com/