MAYORITAS KAUM MUSLIMIN SEKARANG INI TIDAK MEMAHAMI MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAH DENGAN PEMAHAMAN YANG BAIK
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rohimahulloh
Mayoritas kaum muslimin sekarang ini yang telah bersaksi Laa Ilaaha
Illallah (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah)
tidak memahami makna Laa Ilaaha Illallah dengan baik, bahkan barangkali
mereka memahami maknanya dengan pemahaman yang terbalik sama sekali.
Saya akan memberikan suatu contoh untuk hal itu : Sebagian di antara
mereka [1] menulis suatu risalah tentang makna Laa Ilaaha Illallah, dan
menafsirkan dengan "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali
Allah" !! Orang-orang musyrik pun memahami makna seperti itu, tetapi
keimanan mereka terhadap makna tersebut tidaklah bermanfaat bagi mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
"Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : 'Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi ?' Tentu mereka akan menjawab : 'Allah'. "
[Luqman/31 : 25]
Orang-orang musyrik itu beriman bahwa alam semesta ini memiliki Pencipta
yang tidak ada sekutu bagi-Nya, tetapi mereka menjadikan
tandingan-tandingan bersama Allah dan sekutu-sekutu dalam beribadah
kepada-Nya. Mereka beriman bahwa Rabb (pengatur dan pencipta) adalah
satu (esa), tetapi mereka meyakini bahwa sesembahan itu banyak. Oleh
karena itu, Allah membantah keyakinan ini yang disebut dengan ibadah
kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah melalui firman-Nya
:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ
"Dan orang-orang yang mengambil perlindungan selain Allah (berkata) :
'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya'". [az-Zumar/39: 3].
Kaum musyrikin dahulu mengetahui bahwa ucapan Laa Ilaaha Illallah
mengharuskannya untuk berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah
Azza wa Jalla. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, menafsirkan
kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah ini dengan : "Tidak ada Rabb
(pencipta dan pengatur) kecuali Allah". Padahal apabila seorang muslim
mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dan dia beribadah kepada selain Allah
disamping beribadah kepada Allah, maka dia dan orang-orang musyrik
adalah sama secara aqidah, meskipun secara lahiriah adalah Islam, karena
dia mengucapkan lafazh Laa Ilaaha Illallah, sehingga dengan ungkapan
ini dia adalah seorang muslim secara lafazh dan secara lahir. Dan ini
termasuk kewajiban kita semua sebagai da'i Islam untuk menda'wahkan
tauhid dan menegakka hujjah kepada orang-orang yang tidak mengetahui
makna Laa Ilaaha Illallah dimana mereka terjerumus kepada apa-apa yang
menyalahi Laa Ilaaha Illallah. Berbeda dengan orang-orang musyrik,
karena dia enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, sehingga dia bukanlah
seorang muslim secara lahir maupun batin. Adapun mayoritas kaum
muslimin sekarang ini, mereka orang-orang muslim, karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
فَإِذَا قَالُوْ هَا عَصَمُوْا مِنِّي دَمَاعَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقَّهَا، وَحِسَابُهُم عَلَى اللَّهِ تَعَالَى
"Apabila mereka mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah), maka kehormatan dan
harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan
mereka atas Allah Subhanahu wa Ta'ala".[2]
Oleh karena itu, saya mengatakan suatu ucapan yang jarang terlontar
dariku, yaitu : Sesungguhnya kenyataan mayoritas kaum muslimin sekarang
ini adalah lebih buruk daripada keadaan orang Arab secara umum pada masa
jahiliyah yang pertama, dari sisi kesalahpahaman terhadap makna kalimat
tahyyibah ini, karena orang-orang musyrik Arab dahulu memahami makna
Laa Ilaaha Illallah, tetapi mereka tidak mengimaninya. Sedangkan
mayoritas kaum muslimin sekarang ini mereka mengatakan sesuatu yang
tidak mereka yakini, mereka mengucapkan : 'Laa Ilaaha Illallah' tetapi
mereka tidak menginmani -dengan sebenarnya- maknanya. [3]
Oleh karena itu, saya meyakini bahwa kewajiban pertama atas da'i kaum
muslimin yang sebenarnya adalah agar mereka menyeru seputar kalimat
tauhid ini dan menjelaskan maknanya secara ringkas. Kemudian dengan
merinci konsekuensi-konsekuensi kalimat thayyibah ini dengan
mengikhlaskan ibadah dan semua macamnya untuk Allah, karena ketika Allah
Azza wa Jalla menceritakan perkataan kaum musyrikin, yaitu :
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". [az-Zumar/39 : 3]
Allah menjadikan setiap ibadah yang ditujukan bagi selain Allah sebagai
kekufuran terhadap kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah.
Oleh karena itu, pada hari ini saya berkata bahwa tidak ada faedahnya
sama sekali upaya mengumpulkan dan menyatukan kaum muslimin dalam satu
wadah, kemudian membiarkan mereka dalam kesesatan mereka tanpa memahami
kalimat thayyibah ini, yang demikian ini tidak bermanfaat bagi mereka di
dunia apalagi di akhirat !.
Kami mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاًَّ اللَّهُ مُخْلِصًا
مِنْ قَلْبِهِ حَرَّمَ اللَّهُ بَدَنَّهُ عَلَى النَّارِ وفى رواية أخرى:
دَخَلَ الْجَنَّةَ
"Barangsiapa mati dan dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak diibadahi kecuali Allah dengan ikhlas dari hatinya, maka Allah
mengharamkan badannya dari Neraka" dalam riwayat lain : "Maka dia akan
masuk Surga".[4]
Maka mungkin saja orang yang mengucapkan kalimat thayyibah dengan ikhlas
dijamin masuk Surga. meskipun setelah mengucapkannya menerima adzab
terlebih dahulu. Orang yang meyakini keyakinan yang benar terhadap
kalimat thayyibah ini, maka mungkin saja dia diadzab berdasarkan
perbuatan maksiat dan dosa yang dilakukannya, tetapi pada akhirnya
tempat kembalinya adalah Surga.
Dan sebaliknya barangsiapa mengucapkan kalimat tauhid ini dengan
lisannya, sehingga iman belum masuk kedalam hatinya, maka hal itu tidak
memberinya manfaat apapun di akhirat, meskipun kadang-kadang memberinya
manfaat di dunia berupa kesalamatan dari diperangi dan dibunuh, apabila
dia hidup di bawah naungan orang-orang muslim yang memilki kekuatan dan
kekuasaan. Adapun di akhirat, maka tidaklah memberinya manfaat
sedikitpun kecuali apabila :
1. Dia mengucapkan dan memahami maknanya.
2. Dia meyakini makna tersebut, karena pemahaman semata tidaklah cukup
kecuali harus dibarengi keimanan terhadap apa yang dipahaminya.
Saya menduga bahwa kebanyakan manusia lalai dari masalah ini ! Yaitu
mereka menduga bahwa pemahaman tidak harus diiringi dengan keimanan.
Padahal sebenarnya masing-masing dari dua hal tersebut (yaitu pemahaman
dan keimanan) harus beriringan satu sama lainnya sehingga dia menjadi
seorang mukmin. Hal itu karena kebanyakan ahli kitab dari kalangan
Yahudi dan Nashrani mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah seorang rasul yang benar dalam pengakuannya sebagai
seorang rasul dan nabi, tetapi pengetahuan mereka tersebut yang Allah
Azza wa Jalla telah mepersaksikannya dalam firman-Nya.
يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ
"Mereka (ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara) mengenalnya
(Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri ...."
[al-Baqarah/2: 146 & al-An'am/6: 20]
Walaupun begitu, pengetahuan itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikitpun
! Mengapa ? Karena mereka tidak membenarkan apa-apa yang diakui oleh
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa nubuwah (kenabian) dan
risalah (kerasulan). Oleh karena itu keimanan harus didahului dengan
ma'rifah (pengetahuan). Dan tidaklah cukup pengetahuan semata-mata,
tanpa diiringi dengan keimanan dan ketundukan, karena Al-Maula Jalla Wa'
ala berfirman dalam Al-Qur'an :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
"Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi
kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosa mu ......." [Muhammad/47 :
19].
Berdasarkan hal itu, apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha
Illallah dengan lisannya, maka dia harus menyertakannya dengan
pengetahuan terhadap kalimat thayyibah tersebut secara ringkas kemudian
secara rinci. Sehingga apabila dia mengetahui, membenarkan dan beriman,
maka dia layak untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan sebagaimana yang
dimaksud dalam hadits-hadits yang telah saya sebutkan tadi, diantaranya
adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai isyarat
secara rinci :
مَنْ قَالَ :لاَّ إِلَهَ إِلاًَّ اللَّهُ، نَفَعَتْهُ يَوْ مًا مِنْ دَهْرِهِ
"Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka bermanfaat baginya meskipun satu hari dari masanya".[5]
Yaitu : Kalimat thayyibah ini -setelah mengetahui maknanya- akan menjadi
penyelamat baginya dari kekekalan di Neraka. Hal ini saya ulang-ulang
agar tertancap kokoh di benak kita.
Bisa jadi, dai tidak melakukan konsekuensi-konsekuensi kalimat thayyibah
ini berupa penyempurnaan dangan amal shalih dan meninggalkan segala
maksiat, akan tetapi dia selamat dari syirik besar dan dia telah
menunaikan apa-apa yang dituntut dan diharuskan oleh syarat-syarat iman
berupa amal-amal hati -dan amal-amal zhahir/lahir, menurut ijtihad
sebagian ahli ilmu, dalam hal ini terdapat perincian yang bukan disini
tempat untuk membahasnya- [6]. Da dia berada dibawah kehendak Allah,
bisa jadi dia masuk ke Neraka terlebih dahulu sebagai balasan dari
kemaksiatan-kemaksiatan yang dia lakukan atau kewajiban-kewajiban yang
ia lalaikan, kemudian kalimat thayyibah ini menyelamtkan dia atau Allah
memaafkannya dengan karunia dan kemuliaan-Nya. Inilah makna sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu :
مَنْ قَالَ :لاَّ إِلَهَ إِلاًَّ اللَّهُ، نَفَعَتْهُ يَوْ مًا مِنْ دَهْرِهِ
Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka ucapannya ini akan
memberi manfaat baginya meskipun satu hari dari masanya".[7]
Adapun orang yang menucapkan dengan lisannya tetapi tidak memahami
maknanya, atau memahami maknanya tetapi tidak mengimani makna tersebut,
maka ucapan Laa Ilaaha Illaallah-nya tidak memberinya manfaat di
akhirat, meskipun di dunia ucapan tersebut masih bermanfaat apabila ia
hidup di bawah naungan hukum Islam.
Oleh karena itu, harus ada upaya untuk memfokuskan da'wah tauhid kepada
semua lapisan masyarakat atau kelompok Islam yang sedang berusaha secara
hakiki dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa yang diserukan oleh
seluruh atau kebanyakan kelompok-kelompok Islam, yaitu merealisasikan
masyarakat yang Islami dan mendirikan negara Islam yang menegakkan hukum
Islam di seluruh pelosok bumi manapun yang tidak berhukum dengan hukum
yang Allah turunkan.
Kelompok-kelompok tersebut tidak mungkin merealisasikan tujuan yang
telah mereka sepakati dan mereka usahakan dengan sungguh-sungguh,
kecuali memulainya dengan apa-apa yang telah dimulai oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, agar tujuan tersebut bisa menjadi
kenyataan.
[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, edisi Indonesia
TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, Penerjemah Fariq Gasim Anuz, Murajaah Zainal Abidin, Penerbit
Darul Haq - Jakarta]
_______
Footnote
[1]. Dia adalah Syaikh Muhammad Al-Hasyimi, salah seorang tokoh sufi
dari thariqah Asy-Syadziliyyah di Suriah kira-kira 50 tahun yang lalu
[2]. Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (25) dan pada tempat
lainnya, dan Muslim (22), dan selainnya, dari hadits Ibnu Umar
Radhiyallahu anhum.
[3]. Mereka menyembah kubur, menyembelih kurban untuk selain Allah,
berdo'a kepada orang-orang yang telah mati, ini adalah kenyataan dan
hakikat dari apa-apa yang diyakini oleh orang-orang syi'ah rafidhah,
shufiyah, dan para pengikut thariqah lainnya. berhaji ke tempat
pekuburan dan tempat kesyirikan dan thawaf di sekitarnya serta
beristighatsah (meminta tolong) kepada orang-orang shalih dan bersumpah
dengan (nama) orang-orang shalih adalah merupakan keyakinan-keyakinan
yang mereka pegang dengan kuat
[4]. Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (5/236), Ibnu Hibban (4)
dalam Zawa'id dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (3355).
[5]. Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah
Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam
Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam
Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
'anhu
[6]. Ini adalah aqidah Salafus Shalih, dan ini merupakan batas pemisah kita dengan khawarij dan murji'ah
[7]. Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah
Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam
Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam
Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu