Mengapa Terjerumus Dalam Ibadah Kepada Selain Allah?
09.54.00
0
MENGAPA TERJERUMUS DALAM IBADAH KEPADA SELAIN ALLÂH?
Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Tidak seorangpun Muslim yang mengingkari bahwa beribadah kepada selain Allâh adalah kufur dan syirik akbar. Tetapi mengapa sebagian kaum Muslimin terjerumus ke dalam kemusyrikan ini? Ternyata terdapat masalah-masalah rancu yang melilit pemahaman sebagian kaum Muslimin, sehingga tanpa disadari mereka terperangkap ke dalamnya.
Ada beberapa sebab yang mengakibatkan rancunya masalah-masalah itu, mudah-mudahan pemaparan yang singkat ini, dengan taufiq Allâh, akan membuka hati kaum Muslimin untuk lebih menjaga keutuhan tauhidnya dan menjauhi segala wasilah syirik. Beberapa sebab itu antara lain berupa kesalahan dalam hal-hal berikut.
PENGERTIAN BERHALA
Menyembah atau beribadah kepada berhala, jelas merupakan kekafiran. Jika itu dilakukan bersamaan dengan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , berarti itu adalah kemusyrikan, syirik akbar. Banyak sekali nash yang menegaskan supaya orang di zaman ini atau zaman sebelumnya, meninggalkan penyembahan kepada sesembahan-sesembahan selain Allâh Azza wa Jalla itu. Di antaranya firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allâh, maka janganlah kamu menyembah apapun selain Allâh di dalamnya. [al-Jin/72:18].
Ketika Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh 'Abdullâh bin Mas'ûd Radhiyallahu anhu tentang dosa apakah yang paling besar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تَجْعَلَ للهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ. رواه البخاري ومسلم
Apabila engkau menjadikan selain Allâh sebagai tandinganNya yang disembah, padahal Dialah yang telah menciptakan engkau. [HR Bukhârî dan Muslim][1].
Namun ada sebagian kaum Muslimin yang keliru memahami. Menurut anggapan mereka, berhala hanyalah patung, kayu, batu, pohon, serta tempat-tempat keramat yang biasa disembah oleh orang-orang Hindu, Budha dan sejenisnya yang bukan beragama Islam. Sedangkan kuburun orang-orang shalih yang dipuja-puja atau yang biasa dikunjungi oleh sebagian kaum Muslimin untuk mencari wasilah mendapatkan berkah, tidak dianggap sebagai berhala. Maka ketika sebagian kaum Muslimin berbondong-bondong ngalap berkah dari berbagai penjuru daerah ke tempat-tempat yang dianggap sakral di kuburan orang-orang shalih untuk memohon berkah kepada penghuni kuburan atau mencari syafa'at, hal itu tidak dianggap sebagai penyimpangan dalam peribadatan dan bukan peribadatan kepada selain Allâh Azza wa Jalla. Bahkan justeru dianggap jenis peribadatan kepada Allâh Azza wa Jalla yang utama. Ini jelas batil.
Karena fakta inilah, maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan larangannya agar tidak menjadikan kuburannya sebagai berhala. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا...الحديث، رواه أحمد
Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala. [HR Ahmad dalam al-Musnad. Syaikh Ahmad Muhammad Syâkir menyebutkan, isnadnya Shahîh][2].
Hadits ini menunjukkan bahwa jika kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disembah, tentu akan menjadi berhala. Akan tetapi Allâh Azza wa Jalla menjaganya hingga manusia terhalang untuk menyembahnya [3]. Pada hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan larangannya agar tidak menjadikan kuburannya sebagai lahan perayaan karena hal itu akan menjadi wasilah menuju kemusyrikan, menuju pemberhalaan terhadap kuburan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَ لاَ تَجْعَلُوْا قَبْرِي عِيْدًا. رواه أبو داود
Janganlah engkau jadikan rumah-rumahmu menjadi (seperti) kuburan, dan janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan. [HR Abu Dawud, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani] [4].
Kesimpulannya, berhala adalah segala sesuatu yang dijadikan sesembahan selain Allâh Azza wa Jalla , baik berupa kuburan atau benda-benda keramat yang ada di dalamnya [5], termasuk makhluk halus atau benda apa saja yang menjadi tumpuan harapan atau tumpuan ngalap berkah. Itulah berhala. Wallâhu al-Musta'ân.
PENGERTIAN IBADAH
Pengertian Ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla juga banyak disalahfahami oleh banyak umat Islam. Sebagian di antara mereka memiliki asumsi bahwa ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala terbatas pada amaliah lahiriyah shalat, puasa, haji, zakat dan amaliah-amaliah lahiriyah lainnya saja. Di sisi lain ada yang menganggap bahwa ziarah kubur para wali atau orang-orang shalih pada hari-hari tertentu, bahkan menyengaja melakukan perjalan jauh (syaddu ar-Rihâl) ke kuburan-kuburan itu merupakan ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang sangat utama.
Pada saat yang sama, sikap mengagungkan, cinta, tunduk dan merendahkan diri kepada tempat-tempat sakral, seperti kepada kuburan orang-orang shalih, petilasan-petilasan, atau bahkan masjid-masjid kuno yang dikeramatkan; oleh sebagian kaum Muslimin justeru tidak dianggap sebagai peribadatan kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Padahal hakikat ibadah pada prinsipnya adalah sikap merendahkan diri dengan bertumpu pada cinta dan pengagungan kepada yang diibadahi.[6]
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, ibadah menghimpun dua pokok; cinta yang setinggi-tingginya dan sikap merendehkan diri serta tunduk yang setunduk-tunduknya. Siapa saja yang engkau cintai, tetapi engkau tidak tunduk kepadanya, maka engkau bukan penghamba terhadapnya. Begitu pula sebaliknya. Siapa saja yang engkau tunduk kepadanya, tetapi tidak menyintainya, engkaupun bukan penghamba terhadapnya. Sampai engkau betul-betul menyintainya dan betul-betul tunduk serta merendahan diri kepadanya[7]
Apabila seseorang melaksanakan kewajiban atau melakukan amaliah lahiriyah, didorong oleh sikap merendahkan diri yang didasari kecintaan dan sekaligus pengagungan kepada Allâh Azza wa Jalla , maka itu adalah ibadah yang sebenarnya. Salah satu contohnya terkait dengan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَاباَ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ و مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِإِيْمَانًا وَاحْتِسَاباَ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه مسلم
Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan karena mencari pahala Allâh, maka akan diampunkan dosanya yang telah berlalu dan barangsiapa yang mendirikan shalat malam pada malam lailatu qadar karena iman dan karena mencari pahala Allâh, maka akan diampunkan dosanya yang telah berlalu. [HR Muslim] [8].
Juga sabda beliau pada riwayat lain:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَاباَ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه مسلم
Barangsiapa yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan karena iman dan karena mencari pahala Allâh, maka akan diampunkan dosanya yang telah berlalu. [HR Muslim][9].
Maksudnya, puasa dan shalat malam seseorang akan berfungsi benar sebagai ibadah yang menghapus dosa jika puasa itu dilandasi oleh keimanan dan dalam rangka mencari pahala Allâh. Mafhum dari penjelasan di atas, jika seseorang bersikap merendahkan diri dan tunduk dengan dilandasi rasa cinta dan pengagungan, penuh khidmat, penuh rasa harap dan cemas, kepada benda-benda atau tempat-tempat yang disakralkan seperti kuburan para wali, petilasan dan sejenisnya, berarti itu termasuk peribadatan kepada selain Allâh. Dan hukumnya jelas, termasuk syirik akbar. Wal 'Iyâdzu Billâh.
MENGIKUTI NENEK MOYANG
Kesalahan lain yang sering dilakukan oleh sebagian umat Islam adalah taklid kepada tradisi nenek moyang yang menyimpang. Dan ini sebenarnya merupakan perilaku dan kebiasaan kaum musyrikin semenjak zaman dahulu. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan perihal mereka:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allâh", mereka menjawab: "(Tidak) kami hanya akan mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami biasa melakukannya". Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun dan tidak mendapat petunjuk. [al-Baqarah/2:170].
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menjelaskan ayat di atas: Apabila dikatakan kepada orang-orang kafir dari kalangan kaum musyrikin itu: "Ikutilah wahyu yang diturunkan Allâh kepada RasulNya, dan tinggalkan kesesatan serta kebodohan yang kalian lakukan", mereka akan menjawab: "(Tidak) kami hanya akan mengikuti kebiasaan yang kami dapati pada nenek moyang kami", yaitu penyembahan kepada patung-patung dan berhala-berhala. Maka Allâh pun berfirman mengingkari sikap mereka (dengan firmanNya pada akhir ayat).[10]
Demikian pula firman Allâh pada ayat lain:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allâh", mereka menjawab: "(Tidak) tetapi kami hanya akan mengikuti kebiasaan yang kami dapati dari nenek moyang kami". Apakah mereka (akan mengikuti nenek moyang mereka) walaupun sebenarnya setan menyeru mereka ke dalam azab api neraka yang menyala-nyala? [Luqmân/31:21].
SALAH PERSEPSI TENTANG WASILAH
Merasa bahwa diri penuh dosa, tidak suci dari kesalahan, banyak memiliki kotoran hati dan banyak melakukan kemaksiatan, adalah perasaan positif yang akan dapat mendorong seseorang semakin taat dan bertakwa kepada Allâh serta semakin menjauhi larangan-laranganNya. Tetapi jika seseorang merasa tidak layak untuk langsung memohon kepada Allâh karena merasa dirinya terlalu kotor hingga memerlukan wasilah dari orang shalih yang telah meninggal dunia supaya bisa sampai kepada Allâh, maka ini adalah suatu kesalahan fatal.
Apalagi jika untuk membenarkan sikap ini, ia berargumen bahwa "menghadap presiden saja perlu wasilah yang dapat memberikan syafa'at", jelas ia semakin terjerumus dalam kesalahan yang lebih fatal lagi. Yaitu menyerupakan Allâh dengan seorang presiden. Mengapa? Sebab sadar atau tidak sadar, ia telah menganggap bahwa Allâh seperti seorang presiden. Untuk menghadap Allâh, memerlukan wasilah seperti halnya menghadap presiden. Padahal presiden banyak memiliki kelemahan, di antaranya tidak mengetahui persis kebutuhan setiap rakyatnya, sehingga ia memerlukan pembantu untuk menghubungkan dirinya dengan rakyatnya. Sedangkan Allâh Azza wa Jalla Maha Sempurna dan Maha mengetahui segala-galanya, tidak memerlukan satu pembantupun.
Menyerupakan Allâh dengan makhlukNya adalah kufur. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka janganlah kamu menjadikan makhluk-makhluk serupa dengan Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui. [an-Nahl/16:74].
Pada ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang untuk mengadakan sesuatu yang serupa dengan Allâh.[11]
Kaum musyrikin Arab zaman dahulu juga menjadikan patung-patung yang menggambarkan orang-orang shalih yang telah meninggal dunia sebagai wasilah. Mereka menganggap hal ini serupa dengan menghadap para raja dunia yang memerlukan wasilah.[12] Dan ini adalah kebatilan.
Kaum musyrikin menyatakan bahwa penyembahan mereka kepada para berhala hanyalah sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya. Tetapi tindakan mereka itu tetap disebut penyekutuan terhadap Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan tentang kilah kaum musyrikin penyembah berhala itu:
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ
Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya. [ az-Zumar/39:3].
Imam Ibnu Katsîr t dalam tafsirnya menjelaskan (artinya): Mereka menyembah patung-patung itu karena menganggap bahwa patung-patung itu menggambarkan para malaikat yang dekat hubungannya dengan Allâh, supaya patung-patung malaikat itu memberikan syafa'at kepada mereka di sisi Allâh.[13]
Jadi itulah tindakan kaum musyrikin zaman dulu, membuat wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allâh dengan sesuatu yang sebenarnya bukan wasilah. Dan mereka tetap disebut kaum musyrikin. Adapun pembahasan rinci tentang wasilah yang benar dan yang tidak benar, pernah dikupas di Majalah As-Sunnah pada edisi beberapa waktu yang lalu.
Demikianlah beberapa sebab yang menjadikan sebagian kaum Muslimin terjerumus dalam kemusyrikan yang amat berbahaya. Beberapa sebab di atas hanya beberapa saja yang pokok. Sebenarnya masih ada beberapa sebab lain, seperti ketidakmengertian dan mengikuti hawa nafsu. Tetapi mudah-mudahan apa yang dikemukakan di atas cukup merangsang kesadaran umat Islam untuk memperbaiki pemahaman serta jalan hidupnya agar kelak pada hari akhirat dapat mempertanggungjawabkan segalanya di hadapan Allâh yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa. Wallâhu Waliyyu at-Taufîq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahîh al-Bukhârî dalam Fathu al-Bâry VIII/163, Kitâb at-Tafsîr, Bâb III no. 4477 serta yang lainnya, dan Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî, tahqîq Khalîl Maˈmûn Syîhâ, Dâr al-Ma'rifah, Beirut, Cet VII, 1421 H/ 2000 M, II/266-267, no. 253.
[2]. Musnad Imam Ahmad, Juz VII, Syarh & Ta'lîq: Ahmad Muhammad Syâkir, Dâr al-Hadîts, Kairo, cet. I 1416 H/1995 M, hal. 173, no. 7352, Musnad Abî Hurairah.
[3]. Lihat Fathu al-Majîd Syarhu Kitab at-Tauhîd, Syaikh 'Abdur Rahmân bin Hasan Âlu asy-Syaikh, murâja'ah: Syaikh Bin Bâz, Maktabah Dâr as-Salâm & Dâr al-Faihâˈ, 1414 H/1993 M, Bâb Mâ Jâˈa Annal Ghuluw fish-Shâlihîn….hal. 212.
[4]. Shahîh Sunan Abî Dâwûd, Maktabah al-Ma'ârif, Riyadh, cet. II dari terbitan terbaru, I/571, no. 2042
[5]. Fathu al-Majîd Syarhu Kitab at-Tauhîd, op.cit. hal. 212
[6]. Lihat Taqrîb at-Tadmuriyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsimîn, I'tinâˈ & takhrîj: Sayyid bin 'Abbâs bin 'Alî al-Julaimî, Maktabah as-Sunnah, Kairo, cet. I, 1413 H/1992 M. hal. 113.
[7]. Madârij as-Sâlikîn, Imam Ibnu al-Qayyim, Dâr Ihyâˈ at-Turâts al-'Arabîy, cet. II, 1421 H/2001 M, I/66
[8]. Shahîh Muslim Bi Syarhi an-Nawawî, op.cit. VI/283, no. 1778
[9]. Ibid, no. 1777
[10]. Tafsîr Ibnu Katsir, ayat terkait, Juz I.
[11]. Syarh al-'Aqîdah al-Wâsithiyyah, Syaikh Dr. Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Maktabah al-Ma'ârif, Riyadh, cet VI, 1413 H/1993 M, hal. 73, sub judul no. 17.
[12]. Ibid
[13]. Tafsir Ibnu Katsîr, juz IV, Surat az-Zumar/39 ayat 3 dengan diringkas bahasanya.
Tags