Sabtu, 31 Desember 2016

Sampai Manakah Batas Toleransi?

Aqidah Muslim

Oleh
Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan
hafizhohullah[1]

Segala puji bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala ; shalawat serta salam selalu tercurah untuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keluarga, para sahabat, serta para pengikutnya sampai hari kiamat.
Amma ba’du,

Sesungguhnya agama kita terbangun di atas rasa toleransi dan menghilangkan kesusahan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَةِ السَّمْحَةِ

Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran.[2]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan suatu kesempitan untuk kamu dalam agama. [al-Hajj/22:78].

Sikap toleran dan mengangkat kesempitan (kesusahan) merupakan ciri agama yang agung ini, berbeda dengan syariat agama-agama terdahulu yang banyak terdapat kekangan, dan belenggu yang menyusahkan, akibat dari penentangan dan penyelisihan mereka terhadap perintah-perintah Allâh, serta sikap perlawanan mereka terhadap nabi-nabi yang diutus kepada mereka.

Sikap toleransi dan mempermudah dalam syariat Islam terdapat pada perintah, larangan dan pensyariatan Islam. Toleransi tidak bisa dimaknai dengan melepaskan atau meninggalkan hukum-hukum yang terkandung dalam syari’at, karena –jika demikian-, maka itu merupakan sikap mudâhanah dalam urusan agama, bukan sikap toleransi yang diinginkan Islam.

Allâh Ta’ala berfirman:

أَفَبِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَنْتُمْ مُدْهِنُونَ

Maka apakah kamu bermudâhanah[3] dengan al-Qur`ân ini? [al-Wâqiah/56:81].
Dan firman-Nya:

وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). [al-Qalam/68:9].

Dan musuh-musuh Islam tidak akan pernah ridha (suka) terhadap kita, sampai kita melepaskan agama secara menyeluruh serta mengikuti mereka.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. [al-Baqarah/2:120].

Dan firman-Nya:

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). [an-Nisâ`/4:89].

Berdebat dengan mereka secara baik merupakan suatu keharusan syar’i untuk memuaskan (menyenangkan) mereka dengan kebenaran. Apabila perdebatan tidak mendatangkan hasil, atau melalui perdebatan itu mereka ingin kita melepas atau meninggalkan sebagian ajaran agama, maka pada saat itu kita tidak boleh bersikap lemah lembut dengan mereka sehingga akan membuat mereka bertambah serius (antusian); akan tetapi kita harus bersikap keras dan tegas terhadap mereka agar pupus semua harapan mereka.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. [at-Tahrim/66:9].
Dan firman-Nya:

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka. [al-Ankabut/29:46].

Sikap lemah lembut bersama mereka dalam kondisi di atas termasuk dalam kategori meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Kita sering melihat, membaca, dan mendengar dari para khatib atau juru dakwah anjuran untuk bersikap toleran dengan para musuh Islam, karena agama kita adalah agama toleran dan penuh dengan rasa cinta. Perkataan seperti ini tidak sepenuhnya benar, sehingga perlu perincian, karena kalau tidak maka bisa mendatangkan keburukan dan salah tafsir dari orang yang mendengarkan dan membacanya. Kewajiban kita adalah untuk berhati-hati dalam perkara ini serta meletakkan hal seperti ini pada tempatnya. Alangkah sering kita mengulangi dan mendengungkan perkataan-perkataan seperti ini, akan tetapi itu semua tidak cukup untuk merubah musuh-musuh Islam dari tabiat dan sikap mereka terhadap kita dan agama Islam. Ingatlah kejadian yang belum lama terjadi yaitu peristiwa perobekan mushaf (al-Qur`ân) kemudian dilemparkan ke dalam WC, dan tindakan mencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ

Dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. [Ali Imran/3:118].

Sungguh, perbuatan-perbuatan mereka terhadap kaum Muslimin lebih parah daripada perkataan mereka, sebagaimana yang terjadi di Afghanistan, Irak, Bosnia, dan Herzegovina.

Sungguh benar firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. [al-Baqarah/2:217]

Dan firman-Nya:

إِنْ يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ

Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. [al-Mumtahanah/60:2]

Ini yang bisa saya sampaikan. Kita mohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar menolong agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya dan menghinakan para musuh-Nya.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII/1435H/2014.] sumber : Almanhaj.Or.Id
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari kitab al-Bayân li Akhthâ’i Ba’dil Kuttâb, 3/325-326
[2]. HR Imam Ahmad (5/266) dari hadits Abu Umamah Radhiyallahu anhu. Hadits ini dibawakan oleh Imam al-Bukhâri secara mu’allaq dalam kitâbul Imân, Bab ad-Diinu Yusrun dengan lafazh :
أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَةُ السَّمْحَةُ
Dan dibawakan dengan sanad yang bersambung dalam kitab Adabul Mufrad, no. 287 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma
[3]. Syaikh Abdurrahman Nashir as-sa’di rahimahullah saat menafsirkan ayat ini mengatakan, “Apakah dengan al-kitab yang agung ini kalian bermudâhanah ? Maksudnya bersembunyi dan berpura-pura karena takut dari celaan dan ucapan-ucapan makhluk ? -red

Tidak ada komentar:

Posting Komentar