Oleh
Syaikh Abdul Malik Ramadhani حفظه الله
Agama Islam telah mencakup seluruh kebutuhan makhluk, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap
umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan
kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan
Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri [An-Nahl/16:89].
Diantara kebutuhan ini adalah sisi politik yang menjadi sarana
keteraturan masyarakat dan sisi jihad yang menjadi penjamin kemuliaan
dan menghalangi musuh yang menyerangnya. Kemulian orang yang
melaksanakan kedua hal ini dengan ilmu dan keadilan adalah perkara yang
sudah masyhur.
Hal ini kami sampaikan untuk menjelaskan bahwa politik syar’i
termasuk bagian agama dan jihad yang syar’i juga bagian dari agama
bahkan menjadi menaranya sebagaimana dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam .
Namun ketika banyak kaum Muslimin yang tidak memiliki banyak
pengetahuan dari ajaran agama mereka, maka banyak musibah yang menimpa
mereka. Padahal dahulu kaum Muslimin adalah umat yang satu lagi mulia
dan kokoh, tiba-tiba berubah persatuannya menjadi perpecahan dan
kekuatannya menjadi lemah sekali. Para aktifis dakwah Islam telah
melakukan perbaikan keadaan yang ada, namun mereka berselisih dalam
perbaikan ini sesuai perbedaan mereka dalam merealisasikan akar
permasalahan. Mayoritas memandang semua musibah besar yang menimpa kaum
Muslimin sekarang, sebabnya adalah rusaknya sistem perpolitikan. Hal ini
telah menjadi hasil pemikiran para jamaah dakwah yang beragam
manhajnya.
Ada dua jama’ah yang muncul di medan dakwah. Yang pertama memandang
semua ini menuntut kaum Muslimin terlibat langsung ke medan politik
untuk merubah program-program pemerintah; Dan yang kedua memandang tidak
ada obat dalam hal ini kecuali peperangan.
Kelompok pertama meyakini semua hal ini perlu untuk berlomba-lomba
meraih kekuasaan dan yang lainnya hanya memandang mengkudeta para
penguasa imperalis.
Bukanlah perbedaan disini dalam masalah pengakuan tentang rusaknya
keadaan masyarakat dan tidak juga tentang urgensinya berusaha
memperbaiki keadaan atau tidak memperbaiki. Namun perbedaannya yaitu
dalam metode memperbaikinya. Efek dari perbedaan dalam masalah ini cukup
jelas; karena cara perbaikan apabila dianggap tidak ada atau dilalaikan
maka pelakunya terus akan kelelahan merubah sesuatu tapi bukan
pintunya. Ini seperti orang yang ingin sampai pada satu sasaran tidak
melalui jalurnya, lalu kapan sampainya?!
Demikian juga masalah mencari akar masalah penyimpangan, karena
tabiat terapi berbeda-beda sesuai perbedaan analisa pokok penyakit. Oleh
karenanya saya ingin menjelaskan sebab utama musibah kaum Muslimin;
karena pengetahuan tentang hal ini menentukan cara pengobatan yang pas.
Sebab keberhasilan pengobatan seluruh penyakit berawal dari akar masalah
ini.
Orang yang meneliti sejarah pelaku perbaikan –terutama para Nabi –
mengetahui secara yakin bahwa dua jamaah di atas menyelisihi mereka,
baik dalam melihat akar permasalahannya atau melihat cara
memperbaikinya; sebab para Nabi diutus pada kaum yang memiliki semua
keburukan termasuk juga buruk dalam politik, lalu tida ada dalam
al-Qur`an dan as-Sunnah satu petunjukpun yang menjelaskan para Nabi
pertama kali melakukan perbaikan keadaan politik dengan menjadi praktisi
politik atau praktisi revolusi berdarah.
Barangsiapa meneliti dakwah para Nabi dengan niat menerima dan
mencontoh tentulah akan tampak jelas dan yakin akan hal tersebut tanpa
susah payah. Sebab para Nabi diajak masuk dan ikut dalam kekuasan lalu
mereka menolak dengan menyatakan kepada kaum mereka:
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam [Asy-Syu’ara/26:109]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diutus pada waktu
kerusakan politik yang sudah merata. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri tidak memfokuskan pada perbaikan sistem perpolitikan,
walaupun politik adalah bagian dari agama sebagaimana telah dijelaskan
tadi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diajak oleh para pemimpin
besar Quraisy untuk bersekutu dalam kekuasaan dan beliau menolaknya.
Bisa dilihat dalam tafsir Ibnu Katsîr pada awal-awal surat Fushilat dan
ada juga riwayat yang semakna dengan ini bisa dilihat takhrijnya dan
dihasankan oleh syaikh al-Albâni رحمه الله dalam komentar beliau pada kitab Fiqhus-Sîrah, hlm 106. Dalam sebagian jalan periwayatkannya, kaum Quraisy berkata kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ شَرَفًا، سَوَّدْنَاكَ عَلَيْنَا، فَلاَ
نَقْطَعْ أَمْرًا دُوْنَكَ. وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ مُلْكًا مَلَّكْنَاكَ
عَلَيْنَا.
Apabila kamu inginkan kehormatan maka kami jadikan kamu pemimpin
kami dan kami tidak akan memutuskan satu perkarapun tanpa kamu dan bila
kamu inginkan kerajaan maka kami akan mengangkatmu sebagai raja kami…
Bahkan orang yang membandingkan antara dakwah Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada raja-raja dan para penguasa dengan dakwah
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada masyarakay pasti mengetahui
perbedaannya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu menghadapi masyarakat
dengan bergerak dan semangat berapi-api dalam mendakwahi mereka di
tempat-tempat berkumpul mereka, pasar-pasar dan rumah-rumah serta
selainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi mereka, baik
kabilah maupun pribadi-pribadi tanpa lelah hingga mencapai puncak
kesedihan, sehingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka.
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat [Fâthir/35: 8]
Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir bunuh diri karena
itu hingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena
bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman
kepada keterangan ini (al-Quran) [Al-Kahfi/18: 6]
Sedangkan terhadap para raja dan penguasa pada umumnya keadaan Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membebani dirinya untuk datang
menemui mereka, bahkan cukup dengan mengutus utusan kepada mereka
membawa ucapan ringkas dan selesai, ucapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tersebut adalah:
مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ
عَظِيمِ الرُّومِ: سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الهُدَى، أَمَّا بَعْدُ،
فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ
اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ
الأَرِيسِيِّينَ ” قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ
تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا
نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ
بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Dari Muhammad hamba Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan rasulNya kepada
Hiraklius penguasa Romawi, Semoga keselamatan diberikan kepada orang
yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du: Sungguh aku mengajak kamu dengan
ajakan islam: Masuklah kedalam Islam niscaya kamu selamat dan Allâh
Subhanahu wa Ta’ala memberikan kamu pahala dua kali. Apabila kamu
berpaling maka kamu menanggung dosa arisiyun dan Katakanlah: “Hai Ahli
Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak
ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allâh
Subhanahu wa Ta’ala “. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri
(kepada Allah)” (Ali Imrân/3:64). [HR al-Bukhari (no.7) dan Muslim (no 1773].
Bandingkanlah antara dakwah Nabi yang bijak dengan ceramah-ceramah
politik yang panjang dan menghabiskan umur prkatisinya hingga jenggot
mereka beruban, pasti mengetahui mana dari dua kelompok tersebut yang
lebih berhak dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Bahkan waktu itu masuk islam seorang raja besar yaitu an-Najâsyî raja
Habasyah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpikir untuk
berhijrah kesana untuk tinggal menetap di kerajaannya atau menjadikannya
sebagai awal negara Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Juga tidak
berkata: Dari istana seperti ini dakwah akan berjalan maju; karena
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa masyarakat umum
apabila belum menerima sepenuhnya Islam, maka keksuasan yang didapatkan
tidak banyak bermanfaat. Kalau begitu, wajib bagi pengikut para Nabi
untuk memperhatikan cara-cara mereka dalam perbaikan. Kalau sudah
demikian maka kemenanganpun akan datang!
Pengaruh perubahan raja dalam perbaikan masyarajak sudah sangat
jelas; namun ketika kebaikan dan rusaknya raja mengikuti kebaikan dan
kerusakan masyarakatnya dan tidak sebaliknya. Maka perbedaan inilah yang
ada dalam sejarah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam antara
perbaikan pemimpin dan perbaikan masyarakat dan perhatian besar dalam
mendakwahi masyarakat lebih banyak dari perhatian mendakwahi raja-raja.
Sebuah kepastian bahwa penyebab kerusakan keadaan kaum Muslimin di
semua negara adalah kerusakan penguasa dan rakyat. Kalau sudah jelas
demikian maka kerusakan penguasa banyak menyebabkan kerusakan rakyatnya
dengan memasukkan kepada rakyatnya aturan-aturan yang menyelisihi
syariat Rabb alam semesta. Maka perlu diketahui rusaknya penguasa
disebabkan pertama kali dari rusaknya rakyat; karena Allâh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim
itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka
usahakan [Al-An’âm/6:129]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengkhabarkan bahwa diantara takdir-Nya
adalah orang zhalim menjajah orang yang zhalim juga. Allâh Subhanahu wa
Ta’ala juga menjelaskan pengertian ini dalam firman-Nya:
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا
مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ
فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya
mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu,
maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami),
kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya [Al-Isra’/17:16].
Dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan para pemimpin
yang hidup mewah dengan kedurhakan mereka menjajah penduduk negeri yang
pantas dibinasakan. Tidak diragukan lagi penduduk tersebut berhak
dibinasakan karena mereka zhalim, sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَتِلْكَ الْقُرَىٰ أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَوْعِدًا
Dan (penduduk) negeri telah Kami binasakan ketika mereka berbuat
zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka [Al-Kahfi/18:59].
Sebagian salaf memahami ayat ini dengan tafsir ini, diriwayatkan oleh
Abu Nu’aim t (6/30) dan al-Baihaqi t dalam asy-Syu’ab al-Imaan no. 7389
dan Abu Amru ad-Daani t dalam as-Sunan al-Waaridah fil Fitan no. 299
dengan sanad yang shahih dari Ka’ab al-Ahbâr bahwa beliau berkata:
إِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ مَلِكًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى
قُلُوبِ أَهْلِهِ , فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ صَلَاحًا بَعَثَ
فِيهِمْ مُصْلِحًا , وَإِذَا أَرَادَ بِقَوْمٍ هَلَكَةً بَعَثَ فِيهِمْ
مُتْرِفًا , ثُمَّ قَرَأَ: وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ
نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ
عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
Sesungguhnya setiap zaman ada raja yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala
angkat sesuai hati-hati penduduknya. Apabila Allâh Subhanahu wa Ta’ala
inginkan pada satu kaum kebaikan maka mengangkat pada mereka raja yang
memperbaiki dan bila ingin kebinasaan maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala
mengangkat pemimpin yang bermewah-mewahan, kemudian beliau membaca
firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala : Dan jika Kami hendak
membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri
itu sehancur-hancurnya [Al-Isra’/17:16].
Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadîr
1/265 berkata, “Lengkapnya adalah jika Allah Azza wa Jalla menginginkan
keburukan pada satu kaum yang jelek, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala
mengangkat para tokoh yang bermewah-mewah sebagai pemimpin mereka karena
ketidak istiqamahan rakyat tersebut.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan
dengan jelas bahwa kezhaliman penguasa kepada rakyatnya diawali dengan
dosa-dosa mereka sendiri. Beliau bersabda:
وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ، إِلَّا أُخِذُوا
بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ.
Dan mereka tidak mengurangi takaran dan timbangan kecuali disiksa dengan kelaparan dan kesulitan hidup serta kezhaliman penguasa [HR Ibnu Majah no. 4019 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu majah].
Demikianlah efek dosa, tidak dilanggar peringatan Allah di satu kaum
kecuali akan tertimpa mala petaka, sehingga mereka terjajah, dirampas
rezeki mereka, dilecehkan kehormatan dan hilang kebebesan mereka.
Kemungkaran menimpa mereka sesuai kadar kejelekan yang mereka perbuat
dan hilang dari mereka kebahagian sesuai dengan yang mereka hilangkan
dari ketaatan.
Ketika ini semua adalah sebab utama, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan perbaikan individu sebagai cara satu-satunya dalam perbaikan
penguasa dan rakyat, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak merubah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. [Ar-Ra’d/13:11]
Oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih
dalam Khutbah beliau dari berlindung dari keburukan jiwa , beliau
berkata:
وَنَعُوذُ بهِ مِنْ شُرُورِ أنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيئاتِ أعْمَالِنَا
Dan kami berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari keburukan
jiwa dan kejelakan amalan kami. (HR ash-Habus sunan dan dishahihkan
al-Albani ).
Mengapa banyak para dai yang berpaling dari ketaatan kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala dan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam masalah ini?
Yang mendorong saya untuk menyampaikan tulisan ini adalah rasa sayang
kepada usaha besar yang telah dikeluarkan dalam dakwah islam yang habis
tanpa faedah yang dapat dikenang, lebih-lebih lagi usaha-usaha ini
mencakup medan luas dari medan-medan dakwah yang menyita banyak waktu
praktisinya. Seandainya mereka mengambil petunjuk al-Qur`an dan Sunnah
dan meneliti sirah para Nabi dengan niyat ittiba’ pastilah sampai
dengan izin Allah pada tujuan dengan waktu yang singkat. Namun yang
menyimpang dari hal ini dari dua kelompok yang telah diisyaratkan diatas
dikhawatirkan tidak mendapatkan bagian dari amalannya ini kecuali
seperti yang disampaikan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ
Bekerja keras lagi kepayahan. [Al-Ghâsyiyah/88:3]
Inilah keadaan orang-orang yang berlebihan dalam praktek politik dan revolusi berdarah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015. ]
sumber: Almanhaj.Or.Id
_______
Footnote
[1] Syaikh Abdul Mâlik Ramadhâni (diambil dari makalah beliau yang berjudul Limâdza Lâ yalja’ Ahlus Sunnah Fi Islâhihim Ilâl-Hil as-Siyâsi wal Hil ad-Damawi? dalam majalah al-Ishlâh edisi 5, Romadhân/syawal 1428 hlm 36-40
_______
Footnote
[1] Syaikh Abdul Mâlik Ramadhâni (diambil dari makalah beliau yang berjudul Limâdza Lâ yalja’ Ahlus Sunnah Fi Islâhihim Ilâl-Hil as-Siyâsi wal Hil ad-Damawi? dalam majalah al-Ishlâh edisi 5, Romadhân/syawal 1428 hlm 36-40