DOSA DURHAKA KEPADA ORANG TUA
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Sesungguhnya jasa kedua orang tua terhadap anaknya sangat besar.
Fakta ini tidak bisa diingkari oleh siapapun juga. Seorang ibu telah
mengandung anaknya dalam keadaan lemah dan susah. Dia menyabung nyawa
untuk melahirkan anaknya. Kemudian memelihara dan menyusui dengan penuh
kelelahan dan perjuangan selama dua tahun.
Allâh Azza wa Jalla memberitakan sebagian jasa tersebut dalam firman-Nya :
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ
شَهْرًا
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang
ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
puluh bulan. [al-Ahqâf/46:15].
Demikian juga sang bapak menantang panas dan hujan guna mencukupi
kebutuhan keluarganya. Sehingga tidak heran jika keduanya memiliki hak
yang harus dipenuhi oleh sang anak, bahkan hak orang tua itu
mengiringi
hak Allâh Azza wa Jalla. Dia berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Beribadahlah kepada Allâh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.
[an-Nisâ`/4:36].
Berbakti Kepada Orang Tua Merupakan Kewajiban Yang Utama
Hak kedua orang tua itu melebihi manusia manapun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini dalam hadits sebagai berikut:
Hak kedua orang tua itu melebihi manusia manapun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini dalam hadits sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ
ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ
قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Seorang lelaki
datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu bertanya:
“Wahai Rasûlullâh, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan
perbuatan kebaikanku ?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Ibumu,” lelaki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa ?” Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Ibumu,” Lelaki itu bertanya lagi,
“Kemudian siapa ?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Ibumu,” Lelaki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa ?” Beliau menjawab,
“Bapakmu”. [HR al-Bukhâri, no. 5971; Muslim, no. 2548]
Bahkan kewajiban berbakti kepada orang tua itu melebihi kewajiban jihad fî sabîlillâh.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ
إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِي الْأَجْرَ مِنَ
اللَّهِ قَالَ فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ قَالَ نَعَمْ بَلْ
كِلَاهُمَا قَالَ فَتَبْتَغِي الْأَجْرَ مِنَ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ
فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا
Dari Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi Allâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu berkata, ‘Aku berbai’at kepadamu untuk hijrah dan jihad,
aku mencari pahala dari Allâh.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya, ‘Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih hidup ?’ Dia
menjawab, “Bahkan keduanya masih hidup.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya lagi, “Apakah kamu mencari pahala dari Allâh ?” Dia
menjawab, “Ya”. Nabi bersabda, “Kalau begitu pulanglah kepada kedua
orang tuamu, lalu temanilah keduanya dengan sebaik-baiknya”. [HR Muslim,
no. 2549]
Termasuk Dosa Besar : Durhaka Kepada Orang Tua
Selain memerintahkan birrul wâlidain (berbakti kepada kedua orang tua), agama Islam juga melarang ‘uqûqul wâlidain (durhaka kepada kedua orang tua), bahkan memasukkannya ke dalam dosa-dosa besar yang mengiringi syirik. Banyak hadits-hadits yang berkaitan dengan hal ini, antara lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ
أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْكَبَائِرُ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ قَالَ
ثُمَّ مَاذَا قَالَ ثُمَّ عُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ
الْيَمِينُ الْغَمُوسُ قُلْتُ وَمَا الْيَمِينُ الْغَمُوسُ قَالَ الَّذِي
يَقْتَطِعُ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ هُوَ فِيهَا كَاذِبٌ
Dari Abdullâh bin ‘Amr, ia berkata: Seorang Arab Badui datang kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasûlullâh,
apakah dosa-dosa besar itu ?” Beliau menjawab, “Isyrak (menyekutukan
sesuatu) dengan Allâh”, ia bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau
menjawab, “Kemudian durhaka kepada dua orang tua,” ia bertanya lagi,
“Kemudian apa ?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sumpah
yang menjerumuskan”. Aku bertanya, “Apa sumpah yang menjerumuskan itu?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sumpah dusta yang
menjadikan dia mengambil harta seorang muslim”. [HR al-Bukhâri, no.
6255]
Walaupun kedudukan orang tua begitu tinggi, tetapi banyak orang
melupakan tuntunan agama yang suci ini. Mereka tidak peduli lagi dengan
hak mereka dan tidak menunaikannya sebagaimana mestinya.
Di Antara Bentuk-Bentuk ‘Uqûqul Wâlidain
‘Uqûqul wâlidain adalah lawan dari birrul wâlidain (berbakti kepada kedua orang tua). Durhaka kepada kedua orang tua, artinya ialah tidak menaatinya, memutuskan hubungan dengan keduanya, dan tidak berbuat baik kepada keduanya. (Lihat Lisânul ‘Arab, karya Ibnul- Manzhur).
Fenomena durhaka kepada orang tua itu sangat banyak, antara lain sebagai berikut :
1. Mengucapkan perkataan yang menunjukkan tidak suka, seperti “ah”
atau semacamnya, dan demikian juga membentak dan bersuara keras kepada
orang tua.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ
كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
قَوْلًا كَرِيمًا
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kepada
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
[al-Isrâ`/17:23]
Jika ada kata yang lebih ringan dari “ah” yang menyakitkan orang tua,
tentu sudah dilarang juga. Ketika mengucapkan “ah” kepada orang tua
sudah dilarang, apalagi mengucapkan kata-kata yang lebih kasar dari itu
atau memperlakukan mereka dengan buruk, maka itu lebih terlarang.
2. Mengucapkan perkataan atau melakukan perbuatan yang menyebabkan orang tua bersedih hati, apalagi sampai menangis.
3. Bermuka masam dan cemberut kepada orang tua.
Sebagian orang didapati sebagai orang yang pandai bergaul, suka tersenyum, dan berwajah ceria bersama kawan-kawannya. Namun ketika masuk ke dalam rumahnya, bertemu dengan orang tuanya, dia berbalik menjadi orang yang kaku dan keras, berwajah masam dan berbicara kasar. Alangkah celakanya orang yang seperti ini. Padahal seharusnya orang yang dekat itu lebih berhak terhadap kebaikannya.
Sebagian orang didapati sebagai orang yang pandai bergaul, suka tersenyum, dan berwajah ceria bersama kawan-kawannya. Namun ketika masuk ke dalam rumahnya, bertemu dengan orang tuanya, dia berbalik menjadi orang yang kaku dan keras, berwajah masam dan berbicara kasar. Alangkah celakanya orang yang seperti ini. Padahal seharusnya orang yang dekat itu lebih berhak terhadap kebaikannya.
4. Mencela orang tua, baik secara langsung maupun tidak langsung.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ
الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ يَشْتِمُ
الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ
أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ
Dari Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘Ash, bahwa Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk dosa besar, (yaitu) seseorang
mencela dua orang tuanya,” mereka bertanya, “Wahai Rasûlullâh, adakah
orang yang mencela dua orang tuanya ?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Ya, seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang
lain itu mencela bapaknya. Seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang
lain itu mencela ibunya.” [HR al-Bukhâri, no. 5 628; Muslim, no. 90.
Lafazh hadits ini milik Imam Muslim]
5. Memandang sinis kepada orang tua.
Yaitu memandangnya dengan sikap merendahkan, menghinakan, atau kebencian.
Yaitu memandangnya dengan sikap merendahkan, menghinakan, atau kebencian.
6. Malu menyebut mereka sebagai orang tuanya.
Sebagian anak diberi kemudahan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam masalah
duniawi, sehingga ia menjadi orang terpandang di hadapan masyarakat.
Namun sebagian mereka kemudian merasa malu mengakui keadaan orang tuanya
yang terbelakang di dalam tingkat sosial atau ekonominya.
7. Memerintah orang tua.
Seperti memerintah ibu untuk menyapu rumah, mencuci baju, menyiapkan
makanan. Tindakan ini tidak layak, apalagi jika ibu dalam keadaan lemah,
sakit, atau sudah tua. Namun jika sang ibu melakukan dengan sukarela
dan senang hati, dalam keadaan sehat dan kuat, maka tidak mengapa.
8. Memberatkan orang tua dengan banyak permintaan.
Sebagian orang banyak menuntut orang tuanya dengan berbagai permintaan,
padahal orang tuanya dalam keadaan tidak mampu. Ada anak yang meminta
dibelikan baju-baju model baru, handphone baru, sepeda motor, atau
lainnya. Bahkan ada seseorang sudah menikah, kemudian meminta orang
tuanya untuk dibelikan mobil, atau dibuatkan rumah, atau meminta uang
yang banyak, dan semacamnya.
9. Lebih mementingkan isteri daripada orang tua.
Sebagian orang lebih mentaati isterinya daripada mentaati kedua orang
tuanya. Sebagian orang berlebihan dalam menampakkan kecintaan kepada
isterinya di hadapan orang tua, tetapi pada waktu yang sama ia bersikap
kasar kepada orang tuanya.
10. Meninggalkan orang tua ketika masa tua atau saat membutuhkan anaknya.
Sebagian anak ketika menginjak dewasa memiliki pekerjaan yang
mengharuskannya untuk meninggalkan orang tuanya, lalu ia sibuk dengan
urusannya sendiri. Sehingga sama sekali tidak melakukan kebaikan untuk
orang tuanya, baik dengan doa, bantuan uang, tenaga, maupun lainnya.
Inilah diantara bentuk-bentuk kedurhakaan yang harus ditinggalkan.
Demikian juga bentuk-bentuk lainnya yang merupakan kedurhakaan, maka
harus dijauhi. Semoga Allâh selalu membimbing kita dalam kebaikan.
Alhamdulillâhi Rabbil ‘Âlamîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2013. sumber : almanhaj.or.id dipublikasikan kembali oleh Abu Isma'il Al-barbasy]