Selasa, 20 September 2016

Wajib Waspada Kepada Orang Kafir Serta Wajib Bara’ Kepada Orang Kafir


Oleh

Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

Satu-satunya agama yang benar, diridhai dan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla adalah Islam. Agama-agama selain Islam, tidak akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ

Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, [Ali ‘Imrân/3:85]

Untuk itu, kita wajib berhati-hati dan waspada terhadap propaganda-propaganda sesat, yang menyatakan bahwa, ‘Semua agama itu baik’, ‘kebersamaan antar agama’, ‘satu tuhan tiga agama’, ‘persaudaraan antar agama’, ‘persatuan agama’, ‘perhimpunan agama samawi’, ‘persatuan agama Ibrahimiyyah’, ‘persatuan agama Ilahi’, ‘persatuan kaum beriman’, ‘pengikut millah’, ‘persatuan umat manusia’, ‘persatuan agama-agama tingkat nasional’, ‘persatuan agama-agama tingkat internasional’, ‘persaudaraan agama’, ‘satu surga banyak jalan’, ‘dialog antar umat beragama’. Muncul juga dengan nama ‘persaudaraan Islam-Nasrani’ atau ‘Himpunan Islam Nasrani Anti Komunisme’ atau Jaringan Islam Liberal (JIL).

Semua slogan dan propaganda tersebut bertujuan untuk menyesatkan umat Islam, dengan memberikan simpati ke agama Nasrani dan Yahudi, mendangkalkan pengetahuan umat Islam tentang Islam yang haq, menghilangkan ‘aqidah al-wala’ wal bara’ (cinta/loyal kepada kaum Mukminin dan berlepas diri dari selainnya).

Hendaknya setiap Muslim mengetahui hakikat propaganda ini. Ia tidak lain hanyalah benih-benih filsafat yang berkembang di alam politik yang berujung pada kesesatan. Muncul dengan mengenakan baju baru untuk memangsa korban, memangsa ‘aqidah mereka, tanah air mereka dan merenggut kekuasaan mereka.
Oleh karena itu, wajib bagi kaum Muslimin untuk bara’[1] (berlepas diri dari kekufuran). Di antara bentuk bara’:
  1. Membenci syirik dan kufur beserta penganutnya dan senantiasa berlepas diri dari mereka, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ ﴿٢٦﴾ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali (kamu beribadah kepada) Allâh yang menciptakanku; karena sungguh, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”’ [Az-Zukhruf/43:26-27]
  1. Tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang…” [Al-Mumtahanah/60:1]
  1. Meninggalkan negeri-negeri kafir dan tidak bepergian ke sana kecuali untuk keperluan darurat dan ada kemampuan untuk memperlihatkan syi’ar agama dan tanpa ada pertentangan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ
Aku melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap setiap Muslim yang bermukim (berdomisili) di antara kaum musyrikin[2]
  1. Tidak tinggal di negeri kafir, dan tidak tinggal bersama orang kafir/musyrik, karena orang yang tinggal bersama mereka berarti sama dengan mereka, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ
Barangsiapa yang berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia sama dengannya[3]
  1. Tidak menyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang telah menjadi ciri khas mereka :
خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ، وَوَفِّرُوْا اللِّحَى، وَأَحْفُوْا الشَّوَارِبَ

Berbedalah dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggotmu[4] dan tipiskanlah kumismu.[5]
Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka[6]

Di dalam agama Islam, laki-laki diharamkan mencukur jenggot karena beberapa alasan:
  1. Merubah ciptaan Allâh Azza wa Jalla (tanpa ada izin dari Allâh)
  2. Menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
  3. Menyerupai orang kafir.
  4. Menyerupai kaum wanita.[7]
  5. Kaum Mukminin diperintahkan untuk menyemir rambut dan menyemir uban (dengan warna selain hitam) karena orang Yahudi tidak menyemir rambut dan tidak mengubah warna uban.  
  6. Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُوْنَ فَخَالِفُوْهُم

Sesungguhnya Yahudi dan Nasrani tidak menyemir rambut mereka, maka selisihilah mereka.[8]
  1. Tidak menolong, memuji dan membantu orang-orang kafir dalam menghadapi kaum Muslimin. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu). [Ali ‘Imrân/3:28]
  1. Tidak meminta bantuan dan pertolongan dari orang-orang kafir dan tidak menjadikan mereka sebagai teman setia yang dipercaya menjaga rahasia dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan penting. Allâh Azza wa Jalla berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman!Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu.Mereka mengharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu mengerti. [Ali ‘Imrân/3:118]
  1. Tidak terlibat dengan mereka dalam hari raya dan kegembiraan mereka, juga tidak memberikan ucapan selamat. Umat Islam tidak boleh mengikuti perayaan orang-orang kafir dan tidak boleh memberikan ucapan selamat kepada mereka. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu [Al-Furqân/25:72]
Menurut Mujâhid t demikian juga Rabi’ bin Anas t (wafat th. 140 H): “Makna اَلزُّوْرُdalam ayat ini adalah hari raya orang-orang musyrik.”Menurut al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah, makna az-zûr adalah tidak boleh menghadiri perayaan kaum musyrikin.[9]

Tidak boleh bagi kaum Muslimin menghadiri perayaan natal, tahun baru, atau perayaan-perayaan agama lainnya, dan juga perayaan-perayaan yang tidak ada dalam sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hari raya dalam Islam hanya dua, Idul Fitri dan Idul Adh-ha.

Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah mempunyai dua hari khusus untuk bersenang-senang. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Sesungguhnya Allâh telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik, yaitu ‘idul fithri dan ‘idul adh-ha.[10]

Yang dapat kita ambil dari hadits ini:
  • Islam membatalkan semua hari raya jahiliyah dan menggantikannya dengan hari raya yang islami.
  • Bolehnya bersenang-senang pada dua hari raya, ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adh-ha.
  • Tidak boleh kita menjadikan waktu tertentu dalam setahun sebagai hari raya, kecuali yang telah disyariatkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n .
  • Wajib bagi setiap Muslim untuk menjauhi hari raya kaum Yahudi dan Nasrani serta para penyembah berhala.
  • Tidak boleh mengucapkan selamat hari raya natal dan juga tidak boleh mengucapkan selamat dalam perayaan agama lain.
  • Di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , banyak orang-orang jahiliyyah, Yahudi dan Nashrani yang mengadakan perayaan agama mereka dan tidak pernah ada seorang pun dari Shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam perayaan mereka dan mengucapkan selamat. Ini menunjukkan haramnya ikut dalam perayaan mereka dan juga haram mengucapkan selamat kepada mereka.
  • Diantara perayaan jahiliyah yang menyebar di Negeri-negeri Islam, yaitu hari raya natal, hari ibu, hari waisak, nyepi, tahun baru imlek, perayaan tahun baru masehi, ulang tahun, hari valentine, termasuk perayaan tahun baru Islam dan perayaan lainnya yang tidak memiliki contoh sama sekali dalam syari’at.
  • Bahwa ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha merupakan hari raya umat islam yang syar’i.
  • Diantara cara dakwah yang baik adalah dengan memberikan solusi terhadap apa-apa yang dilarang oleh syari’at.
  • Perayaan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, dan perayaan tahun baru Islam merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama dan tidak dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
  1. Tidak memohonkan ampunan bagi mereka dan juga tidak memohonkan rahmat terhadap mereka, meskipun mereka keluarga terdekat. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allâh) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu, adalah penghuni Neraka Jahannam. [At-Taubah/9:113]
  1. Tidak mudahanah (bersikap lunak dengan meninggalkan kewajiban nahi mungkar-re) dengan mereka melalui cara-cara yang merugikan agama. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

Mereka menginginkan agar engkau bersikap lunak maka mereka bersikap lunak (pula). [Al-Qalam/68: 9]
  1. Tidak menyandarkan hukum kepada mereka, atau tidak setuju dengan hukum yang dibuat oleh mereka, serta tidak mengikuti ajakan mereka untuk meninggalkan hukum Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allâh, maka mereka itulah orang-orang kafir. [Al-Mâidah/5:44]

Tentang berhukum selain dengan hukum Allâh Azza wa Jalla ada pembahasannya tersendiri yang dibahas panjang lebar oleh para Ulama.
  1. Tidak memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَبْدَأُوا الْيَهُوْدَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ

Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani![11]
Apabila orang kafir memulai mengucapkan salam kepada kaum Muslimin, maka jawablah dengan ucapan : 

وَعَلَيْكُمْ (wa‘alaikum).

Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya para sahabatgbertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) mereka mengucapkan salam kepada kami. Bagaimanakah kami menjawab salam mereka?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah, wa’alaikum.”[12]

Penjelasan tentang bara’ ini tidak berarti bahwa ummat Islam tidak boleh bermu’amalah (berintraksi) dengan orang-orang kafir. Kita bahas tentang hukum bermuamalah dengan orang kafir, di antaranya:
  1. Boleh melakukan transaksi dengan mereka dalam perdagangan, sewa menyewa dan jual beli barang selama alat tukar dan barangnya dibenarkan menurut syari’at Islam.
  2. Wakaf mereka dibolehkan selama itu pada hal-hal dimana wakaf terhadap kaum Muslimin dibolehkan. Misalnya, derma terhadap fakir miskin, perbaikan jalan, derma terhadap ibnu sabil dan semacamnya.
  3. Boleh memberi pinjaman dan atau meminjam dari mereka walaupun dengan cara menggadaikan Sebab diriwayatkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia sedang baju perangnya digadaikan kepada seorang Yahudi dengan 30 sha’ gandum.[13]
  4. Haram mengizinkan mereka membangun rumah ibadah mereka di negeri Muslim.
  5. Orang Dzimmi (non muslim yang berada di negeri Muslim) dan Mu’ahad (non muslim yang mempunyai perjanjian damai dengan negeri Muslim) tidak boleh diganggu selama mereka melaksanakan kewajiban mereka dan tetap mematuhi perjanjian.
  6. Hukum qishas atas nyawa dan lainnya juga di-berlakukan kepada mereka.
  7. Boleh melakukan perjanjian damai dengan mereka, baik karena permintaan kita maupun karena permintaan mereka, selama itu mewujudkan kemashlahatan umum bagi kaum Muslimin dan pemimpin kaum Muslimin sendiri cenderung ke arah itu, hal ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا

Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah  [Al-Anfâl/8:61]

Tetapi perjanjian damai itu harus bersifat sementara dan tidak mutlak.
  1. Darah, harta dan kehormatan kafir Dzimmi,Mu‘ahad dan musta`man (orang yang meminta jaminan keamanan) adalah haram (tidak boleh ditumpahkan darahnya), apabila mereka bukan kafir Harbi (orang kafir yang memerangi kaum Muslimin).
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ

Allâh tidak melarang kamu berbuat baik dan ber­laku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang berlaku adil.”[Al-Mumtahanah/60: 8]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا

Barangsiapa membunuh seorang kafir mu’ahad, maka ia tidak akan mencium aroma Surga. Sesungguhnya aroma surga dapat tercium dari (jarak) perjalanan 40  tahun[14]

Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ قَتَلَ قَتِيْلاً مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا.

Barangsiapa membunuh seorang dari ahli dzimmah, maka ia tidak akan mencium aroma Surga. Sesungguhnya aroma surga dapat tercium dari (jarak) perjalanan 40 tahun.[15]

Hal ini menunjukkan bahwa orang kafir dzimmi saja tidak boleh ditumpahkan darahnya, apalagi terhadap seorang Muslim.

PERBEDAAN ANTARA AL-BARA’ DENGAN KEHARUSAN BERMUA’MALAH YANG BAIK

Sikap permusuhan terhadap orang kafir tidak berarti bahwa kita boleh bersikap buruk terhadap mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Seorang Muslim tetap harus berbuat baik kepada kedua orang tuanya yang masih musyrik.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik [Luqmân/31:15]

Kebencian itu juga tidak boleh mencegah kita untuk melakukan apa yang menjadi hak-hak mereka, menerima kesaksian sebagian mereka atas sebagian yang lain serta berbuat baik terhadap mereka. Firman Allâh Azza wa Jalla :

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allâh tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang berlaku adil. [Al-Mumtahanah/60:8]

Hukum ini berlaku untuk orang kafir yang mempunyai perjanjian damai dan jaminan dari kaum Muslimin dan tidak berlaku bagi orang kafir yang berstatus ahlul Harb (orang kafir yang memerangi kaum Muslimin).

Dengan demikian jelaslah bahwa mu’amalah yang baik dengan orang kafir adalah suatu akhlak mulia yang sangat dianjurkan dan diperintahkan oleh syari’at Islam. Sedangkan yang diharamkan adalah mendukung dan menolong orang kafir dalam rangka kekufuran. Pengharaman ini dapat menyebabkan pelakunya sampai kepada kekufuran. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka [Al-Mâidah/5:51]
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk kaum Muslimin serta menambah keyakinan mereka tentang benarnya agama Islam dan wajib berlepas diri dari semua kesyirikan dan kekafiran. Dan kita wajib untuk bermuamalah dengan baik sesuai dengan syari’at Islam dan tidak boleh sekali-kali mengorbankan aqidah dan agama dalam bermuamalah dan lainnya.

MARAAJI’:
  1. Tafsîr ath-Thabari.
  2. Tafsîr Ibni Katsîr, tahqiq Sami Salamah.
  3. Al-Ibthâl Linazhariyyatil Khalthi baina Dînil Islam wa Ghairihi minal Adyân karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, cet. Daar ‘Alamul Fawaa-id, cet II/ th. 1421 H.
  4. Al-Madkhal lidirâsatil ‘Aqîdatil Islâmiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah.
  5. Prinsip Dasar Islam.
  6. Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVIII/1436H/2015M. ] artikel : almanhajorid
_______
Footnote
[1]     Kata al-bara’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, antara lain menjauhi, membersihkan diri, melepaskan diri dan memusuhi. Kata bari-a (بَرِئَ) berarti membebaskan diri dari melaksanakan kewajiban-nya terhadap orang lain. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allâh dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kamu (kaum muslimin) mengadakan perjanjian (dengan mereka).”(QS. At-Taubah/9:1). Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan tersebut.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allâh, berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Jadi, ciri utama al-bara’ adalah membenci apa yang dibenci Allâh secara terus-menerus dan penuh komitmen.
[2] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 2645), at-Tirmidzi (no. 1604), dari Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 1207)
[3] HR. Abu Dawud (no. 2787), dari Shahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu. Hadits ini hasan, lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2330)
[4] Imam an-Nawawi ketika menjelaskan makna : اِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ (peliharalah jenggotmu) artinya: “Tidak boleh digunting sedikit pun.”Lihat Riyâdhus Shâlihîn hadits no. 1204
[5] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 5892) dan Muslim (no. 259 (54)), dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma
[6] HR. Abu Dawud (no. 4031), Ahmad (II/50), dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, hadits ini shahih
[7] Lihat Adabuz Zifâf oleh Syaikh al-Albani (hlm. 207-212), cet. Daarus Salam
[8] HR. Al-Bukhâri (no. 3462, 5899), Muslim (no. 2103) dan Abu Dawud (no. 4203), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Jilbâbul Mar-atil Muslimah (hlm. 187) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Daarus Salaam, th. 1423 H
Ummat Islam dianjurkan menyemir rambut dan uban tetapi mereka tidak boleh menyemir dengan warna hitam karena diancam oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang menyemir dengan warna hitam tidak akan mencium aroma Surga
[9] Lihat Iqtidhâ’ush Shirâthil Mustaqîm li Mukhâlafati Ash-hâbil Jahîm (I/480-481), tahqiq Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql
[10]Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1134) dan an-Nasâ’i (III/179-180). Lihat Shahih Abi Dâwud (no. 1039). Lihat penjelasan tentang hadits ini dalam kitab Iqtidhâush Shirâthil Mustaqîm li Mukhâlafati Ash-hâbil Jahîm, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq dan ta’liq DR. Nashr bin ‘Abdul Karim al-‘Aql              
[11] Shahih: HR. Muslim no. 2167 (13), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[12] Shahih: HR. Muslim (no. 2163 (7)), dari Shahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu
[13] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 2916) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[14] HR. Al-Bukhâri (no. 3166), an-Nasâ-i (VIII/25), Ibnu Mâjah (no. 2686), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma
[15] HR. Ahmad (II/186), al-Hâkim (II/126-127), al-Baihaqi dalam Sunannya (IX/205), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu unhnuma. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hâkim dan disetujui oleh adz-Dzahabi Pad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar