Prasmanan, adalah sebuah istilah yang
tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan
mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah
ditata secara menarik di beberapa meja. Mana yang ia suka; ia ambil.
Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan
seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal.
Prasmanan dalam pandangan Islam
boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman
yang halal, serta tidak berlebih-lebihan.
Lantas mengapa artikel ini berjudulkan,
“Islam bukan agama prasmanan”?. Jawabannya karena sebagian kaum muslimin
menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia
suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan.
Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah ta’ala menegaskan,
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴿٨٥﴾
Artinya: “Apakah kalian mengimani
sebagian isi Kitab lalu ingkar terhadap sebagian yang lain? Tidak ada
balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Dan pada hari kiamat kelak
mereka akan dimasukkan ke dalam azab neraka yang sangat pedih. Allah
sama sekali tidak lengah mencatat semua perbuatan kalian.” QS. Al-Baqarah (2): 85.
Islam adalah pedoman hidup yang lengkap dan sempurna. Allah ta’ala
mengaruniakannya kepada kita, untuk mengatur seluruh aspek kehidupan.
Oleh karena itu, maka kita harus menerima dan berusaha mengamalkan
seluruh ajaran Islam. Tidak boleh kita ambil setengah-setengah. Dalam
arti salah satu ajarannya kita amalkan, sementara ajarannya yang lain
kita tolak.
Banyak orang ketika shalat menggunakan
tata cara Islam, tapi sayang ketika berbisnis ia tidak mau diatur oleh
Islam. Ada yang dalam berhaji memakai fikih Islam, namun saat
berideologi dan berkeyakinan, ia memilih untuk mengadopsi akidah agama
lain.
Ada juga yang saat berpuasa konsisten
dengan tata cara Islam; tidak makan, tidak minum dan tidak berdusta.
Tapi saat berpolitik ia tak mau berpegang teguh dengan ajaran Islam,
sehingga menghalalkan segala cara. Berdusta dengan topeng pencitraan,
memfitnah, menyuap, melakukan money politic, bermain culas dan
berkorupsi. Amat disayangkan, banyak yang punya anggapan, “Ini adalah
masalah politik, bukan urusan agama”. Seakan-akan kalau berpolitik lalu
boleh menghalalkan segala cara.
Padahal sesungguhnya Islam, sebagaimana
mengatur tata cara shalat dan puasa, Islam juga mengatur tentang etika
berbisnis dan mengatur urusan negara. Islam sebagaimana mengatur tentang
keimanan dan ibadah, juga mengatur tentang hukum dan tata cara
berbusana. Pendek kata, Islam itu mengatur manusia dari bangun tidur
hingga tidur lagi, bahkan ketika tidur. Mengatur manusia dari lahir
hingga menguburnya saat mati. Islam mengatur mulai dari masuk kamar
mandi hingga mengatur bangsa dan negara, bahkan dunia.
Beragama secara parsialitas, itu adalah salah satu trik setan dalam menyesatkan bani Adam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman, masuk Islamlah kalian secara kâffah (totalitas), dan janganlah
kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh
yang nyata bagi kalian”. QS. Al-Baqarah (2): 208.
Mari kita tinggalkan pola prasmanan dalam beragama! Sebab Islam bukan agama prasmanan…
Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA hafidzohullah
sumber : tunasilmu.com