BULAN RAMADHAN ANUGRAH TERAGUNG
Oleh
Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin hafizhahumallâh
Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin hafizhahumallâh
Allâh Azza wa Jalla telah memberikan kepada para hamba-Nya nikmat
yang sangat banyak dan tidak terhitung. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
Nikmat-nikmat itu ada yang bersifat mutlak dan ada pula yang bersifat
muqayyad (terikat); ada yang bersifat keagamaan dan ada pula yang
bersifat keduniaan. Allâh Azza wa Jalla menunjukkan para hamba-Nya
kepada kenikmatan- kenikmatan tersebut lalu Allâh Azza wa Jalla juga
membimbing mereka untuk meraih kenikmatan tersebut. Allâh Azza wa Jalla
juga menyeru para hamba untuk masuk ke dalam dâris salâm (surga). Allâh
Azza wa Jalla berfirman:
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَىٰ دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Allâh menyeru (manusia) ke dârus salâm (surga), dan menunjuki orang
yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). [Yûnus/10:25]
Allâh Azza wa Jalla menganugerahkan kesehatan akal dan fisik kepada
mereka, memberikan rezeki yang halal, menundukkan untuk mereka apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi. Semua anugerah ini berasal Allâh
Azza wa Jalla diberikan kepada para hamba-Nya agar mereka bersyukur
kepada-Nya, beribadah hanya kepadanya serta tidak menyekutukannya.
Dengan melakukan itu semua, mereka akan meraih ridha Allâh Azza wa Jalla
dan bisa selamat dari siksa-Nya.
Salah satu contoh nikmat agung yang Allâh Azza wa Jalla berikan
kepada para hamba-Nya yang beriman yaitu disyari’atkannya buat mereka
puasa pada bulan yang penuh berkah yaitu Ramadhan. Allâh Azza wa Jalla
menjadikan puasa ini sebagai salah satu rukun agama Islam. Oleh karena
puasa itu merupakan nikmat agung yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada
hamba-Nya, maka Allâh Azza wa Jalla menutup ayat yang mengandung
perintah untuk puasa pada bulan ramadhan dengan firman-Nya:
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Supaya kamu bersyukur [al-Baqarah/2:185]
Karena bersyukur merupakan tujuan dari penciptaan makhluk dan pemberian beragam kenikmatan.
Hakikat syukur adalah mengakui nikmat tersebut datang dari Allâh Azza
wa Jalla dibarengi dengan ketundukan kepada-Nya, merendahkan diri dan
mencintai-Nya.
Barangsiapa tidak mengetahui suatu nikmat maka dia tidak bisa bersyukur.
Barangsiapa mengetahui sebuah kenikmatan akan tetapi dia tidak mengetahui Pemberinya maka dia juga tidak akan bisa mensyukurinya.
Barangsiapa mengetahui sebuah kenikmatan akan tetapi dia tidak mengetahui Pemberinya maka dia juga tidak akan bisa mensyukurinya.
Barangsiapa mengetahui kenikmatan dan mengetahui Pemberinya namun dia
mengingkari kenikmatan tersebut maka itu artinya dia telah kufur
terhadap nikmat tersebut.
Barangsiapa mengetahui kenikmatan dan mengetahui Pemberinya dan dia
juga mengakui kenikmatan tersebut, hanya saja dia tidak tunduk
kepada-Nya, tidak mematuhi-Nya, dan tidak mencintai Pemberinya serta
tidak ridha dengan-Nya, maka dia belum dianggap bersyukur.
Barangsiapa mengetahui kenikmatan dan mengetahui pemberinya lalu dia
tunduk kepada-Nya, mencintai Permberi nikmat, ridha terhadap-Nya serta
menggunakan nikmat tersebut dalam hal-hal yang dicintai-Nya dan dalam
rangka menaati-Nya, maka dialah orang yang dikatakan bisa bersyukur
terhadap sebuah kenikmatan.
Dari penjelasan ini, tampak jelas bahwa syukur itu terbangun di atas lima kaidah :
• Ketundukan orang yang bersyukur kepada Allâh
• Mencintai-Nya,
• Mengakui nikmat yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepadanya,
• Memuji-Nya karena Dia telah memberikan nikmat kepadanya,
• Menggunakan nikmat tersebut dalam rangka mentaat-Nya,
• Mencintai-Nya,
• Mengakui nikmat yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepadanya,
• Memuji-Nya karena Dia telah memberikan nikmat kepadanya,
• Menggunakan nikmat tersebut dalam rangka mentaat-Nya,
Lima hal ini merupakan pondasi syukur. Ketika salah satu dari lima
pondasi ini hilang atau tidak ada, maka rasa syukur tersebut tidak
dianggap atau nilainya berkurang. Dan semua orang yang berbicara tentang
syukur serta pengertiannya, maka perkataannya tidak akan pernah keluar
dari lima hal di atas[2].
Dalam upaya merealisasikan rasa syukur ini, manusia atau para hamba
Allâh Azza wa Jalla terbagi menjadi berbagai tingkatan tergantung sejauh
mana mereka mengenal Pencipta yang Mahaagung, Pemberi nikmat yang
Mahamulia. Diantara mereka ada yang memahami nama dan sifat Allâh Azza
wa Jalla secara terperinci, memahami betapa agung ciptaan-Nya dan
perbutatan-NYa, mengetahui betapa indah ciptaan Allâh. Orang seperti ini
hatinya akan penuh dengan kecintaan kepada Allâh, lisannya akan
dipenuhi dengan pujian, anggota badannya akan selalu melakukan hal-hal
yang diridhai oleh Allâh. Dia mengakui semua nikmat yang diberikan
kepadanya, dan mempergunakannya pada hal-hal yang dicintai dan diridhai
oleh Allâh Azza wa Jalla. Diantara manusia juga ada yang tenggelam dalam
kelalaian dan kejahilan tentang Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang
seperti ini akan semakin jauh dari Allâh Azza wa Jalla dengan sebab
pengingkaran yang dia lakukan terhadap nikmat Allâh, atau dia tidak
mengingkarinya akan tetapi dia tidak mau tunduk dan patuh terhadap
perintah dan syari’at Allâh Azza wa Jalla .
Bulan Ramadhan yang penuh berkah merupakan anugrah ilahi kepada
seluruh hamba, agar mereka yang beriman bertambah keimanan mereka,
sementara orang-orang yang melampui batas (yang melakukan berbagai
pelanggaran-red) serta yang meremehkan syari’ah bisa bertaubat kepada
Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla mengistimewakan bulan ini
dengan berbagai kekhususan dan keistimewaan yang tidak ada pada bulan
yang lainnya.
Berikut akan disebutkan beberapa keistimewaan bulan ini dengan
harapan agar kita bisa bisa memahami betapa agung nikmat bulan Ramadhan
ini supaya kita semakin tergerak untuk bersyukur dengan beribadah kepada
Allâh Azza wa Jalla dengan sebenar-benarnya.
a. Bulan Ramadhan teristimewa dengan al-Qur’ân, karena pada bulan ini
al-Qur’ân diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’ân sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) [al-Baqarah/2:185]
Dalam ayat tersebut, Allâh Azza wa Jalla menyanjung bulan Ramadhan
diantara bulan-bulan lainnya, dengan memilihnya sebagai waktu
diturunkannya al-Qur’an, bahkan disebutkan dalam sebuah hadits bahwa
bulan Ramadhân merupakan waktu diturunkan seluruk kitab-kitab Allâh Azza
wa Jalla kepada para nabi. Dalam Musnad karya Imam Ahmad dan Mu’jamul
Kabîr karya Imam Thabrani dari shahabat Wâtsilah bin ‘Asqa’, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُنْزِلَتِ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ
رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ،
وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَ
الْقُرْآنُ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ
Shuhuf Nabi Ibrâhim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, dan
Taurat pada hari keenam bulan Ramadhan, sedangkan Injil pada hari
ketiga belas dari bulan Ramadhan, sedangkan al-Qur’ân diturunkan pada
hari kedua puluh empat dari bulan Ramadhan[3].
Hadits ini menunjukkan bahwasanya kitab-kitab samawiyah diturunkan
kepada para rasul di bulan Ramadhan, hanya saja kitab-kitab itu
diturunkan sekaligus (tidak bertahap), sementara al-Qur’ân karena
kemulian dan keagungan yang dimilikinya, dia diturunkan sekaligus ke
Baitil Izzah di langit dunia (pertama) dan itu terjadi saat lailatul
qadar pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’ân) pada malam kemuliaan [al-Qadr/97:1]
Dan firman-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan
sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. [ad-Dukhân/44:3]
Kemudian setelah itu, diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam secara bertahap. Ini menunjukkan keistimewaan bulan Ramadhan. Dan
bulan ini menjadi istimewa dengan sebab al-Qur’ân, yang mana pada bulan
ini ummat manusia mendapakan keutamaan yang besar dari Allâh, yaitu
turunnya wahyu Allâh Azza wa Jalla yang membawa hidayah bagi ummat
manusia, bagi kebaikan mereka di dunia maupun di akhirat. al-Qur’an juga
merupakan pembeda antara petunjuk dan kesesatan, pembeda antara haq dan
bathil, antara cahaya dan kegelapan.
b. Bulan Ramadhan menjadi istimewa karena padanya ada lailatul qadar yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya:
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Dan tahukah kamu apakah lailatul qadar (malam kemuliaan) itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. [al-Qadr/97:2-3]
Maksudnya adalah amalan yang dilakukan pada saat lailatul qadr lebih
baik daripada amalan yang dilakukan pada seribu bulan selain bulan
Ramadhan.
c. Bulan Ramadhan menjadi istimewa juga karena ada ibadah puasa.
Puasa pada bulan ini bisa menjadi sebab terhapusnya dosa. Dalam sebuah
hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâri dan Muslim dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan
pengharapan, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni [4]
Yang dimaksud dengan penuh keimanan adalah keimanan yang penuh kepada
Allâh Azza wa Jalla dengan mengharapkan pahala dan ganjaran dari-Nya,
tidak benci terhadap kewajiban puasa serta tidak ragu terhadap pahala
yang akan didapatkannya. Orang seperti ini, akan diampuni semua dosa
yang telah lalu oleh Allâh Azza wa Jalla. Disebutkan dalam Shahîh Muslim
dari shahabat Abi Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الخَمْسُ ، وَالجُمُعَةُ إِلَى الجُمُعَةِ ، وَرَمَضَانُ
إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّراتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ
الكَبَائِرُ
Shalat lima waktu, antara Jumat yang satu dengan yang lainnya, dan
antara Ramadhan yang satu dengan yang lainnya, dosa diantara semua itu
akan diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla , jika dosa-dosa besar telah
dijauhi[5]
Pada bulan ini juga para syaitan dibelenggu, pintu-pintu surga
dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, dan Allâh Azza wa Jalla pada
setiap malam dari bulan Ramadhan membebaskan banyak orang dari api
neraka.
d. Pada bulan ini juga Allâh Azza wa Jalla memenangkan kaum Muslimin
atas musuh-musuh mereka diperang Badr, padahal jumlah musuh pada saat
itu tiga kali lipat dari jumlah kaum Muslimin. Pada bulan ini juga,
Allâh Azza wa Jalla menaklukkan kota Mekah melalui tangan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mensucikan kota Mekah dari kotoran
berhala, dan ada tiga ratus enam puluh patung yang berada di Ka’bah dan
sekitarnya. Rasulullah menghancurkan patung-patung tersebut seraya
membaca:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Dan katakanlah, “Yang benar telah datang dan yang bathil telah
lenyap”. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.
[al-Isrâ’/17:81]
(Dengan ini semua), maka bulan Ramadhan merupakan bulan untuk
bersungguh-sungguh dan bulan untuk beramal, bulan ibadah serta jihad di
jalan Allâh.
Dengan keutamaan yang dimiliki oleh bulan ini serta berbagai anugrah
yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada para hamba-Nya yang beriman pada
bulan ini, maka sudah selayaknya para hamba mengagungkan bulan ini dan
menjadikan bulan ini sebagai momen untuk beribadah serta menambah bekal
akhirat.
Ya Allah Azza wa Jalla jadikanlah kami termasuk orang-orang yang
mengerti kedudukan dan kehormatan bulan Ramadhan ini! Berikanlah taufiq
kepada kami untuk melakukan amalan-amalan yang mendatang ridha-Mu!
Sesungguhnya Engkau maha Mendengar doa
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVIII/1435H/2014.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tharîqul Hijratain, Ibnul Qayyim, hlm. 172
[2]. Madârijus Sâlikin, Ibnul Qayyim, 2/244
[3]. Musnad Imam Ahmad, 4/107, no. 16921; at-Thabrani, no. 17646. lafazh ini milik Imam Ahmad
[4]. Muttafaq ‘alaih; Imam al-Bukhâri, no. 2014 dan Imam Muslim, no. 760
[5]. HR. Imam Muslim, no. 233
_______
Footnote
[1]. Tharîqul Hijratain, Ibnul Qayyim, hlm. 172
[2]. Madârijus Sâlikin, Ibnul Qayyim, 2/244
[3]. Musnad Imam Ahmad, 4/107, no. 16921; at-Thabrani, no. 17646. lafazh ini milik Imam Ahmad
[4]. Muttafaq ‘alaih; Imam al-Bukhâri, no. 2014 dan Imam Muslim, no. 760
[5]. HR. Imam Muslim, no. 233