Kamis, 27 Agustus 2015

Hukum Seputar Ibadah Qurban

Oleh : Ust. Abu Khalid
Bismillah,
Segala puji milik Allah, Tuhan sekalian alam. Shalawat dan salam mudah-mudahan senantiasa tercurah kepada baginda Nabi Muhammad, kepada para keluarga, para sahabatnya dan seluruh umatnya hingga hari kiamat.

Pengertian Udhhiyah (Qurban)
Udhhiyah merupakan salah satu ibadah yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah. Disebut demikian, karena biasanya dilaksanakan pada waktu dhuha. Umat Islam di Indonesia biasa menyebutnya dengan ibadah Qurban. Secara istilah syar’i, Udhhiyah adalah:hewan –unta, sapi atau kambing- yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala pada hari nahr (10 dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq.[1]
Dasar Hukum
Dasar hukum disyariatkannya Udhhiyyah adalah firman Allah,
“Maka shalatlah, dan menyembelihlah.” (QS. Al Kautsar: 2)
Sebagian ahli tafsir mengatakan, “dan menyembelihlah” dengan berqurban pada hari raya iedul adhha.
Dalam hadis disebutkan, dari Anas bin Malik,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُضَحِّى بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صَفْحَتِهِمَا ، وَيَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ
“Nabi menyembelih dua ekor kambing yang putih bersih, aku melihat beliau meletakkan kakinya di pangkal leher keduanya, lalu mengucapkan bismillah, bertakbir dan menyembelihnya dengan tangannya.” (HR Bukhari Muslim)
Para ulama juga sepakat bahwa Udhhiyah adalah amalan yang disyariatkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya. Artinya, beliau setiap tahun senantiasa berqurban.[2]
Hikmah Berqurban
Ibadah qurban memiliki hikmah dan nilai kebaikan yang sangat banyak. Diantaranya:
  1. Sebagai salah satu bentuk ketundukan kepada Allah.
  2. Sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah atas nikmat-Nya.
  3. Sebagai salah satu syi’ar Islam.
  4. Sebagai bentuk kegiatan sosial yang bermanfaat untuk orang banyak.
Hukum Berqurban
Mayoritas para ulama berpendapat hukumnya sunnah muakkadah (yang sangat ditekankan) bagi yang mampu. Ini adalah pendapat Abu Bakar, Umar, Bilal, Ibnu Mas’ud, begitu juga Sa’id bin al Musayyib, Alqamah, Aswad, ‘Atho, Asy Syafi’I, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, Ahli Dzahir. Ini juga madzhab Malik dan Ahmad. Adapun Tsauri, al Auza’I, Laits dan Abu Hanifah mengatakan wajib.[3]
Syaikh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin berkata, “Berqurban sunnah muakkadah, sebagian ulama mengatakan wajib. Masing-masing dari mereka memiliki dalil. Akan tetapi yang lebih hati-hati, hendaknya orang yang Allah berikan kekayaan sebagai kenikmatan untuknya tidak meninggalkannya. Agar ia dapat menyamai orang-orang yang sedang berhaji. Mereka menyembelih hadyu pada hari-hari raya, maka orang-orang yang tidak berhaji menyembelih hewan qurban.”[4]
Berqurban Lebih Utama dari Sedekah dengan Nilainya
Ibnul Qayyim berkata, “Menyembelih pada waktunya lebih utama dari sedekah dengan nilainya, walaupun lebih, seperi hadyu dan udhhiyah (qurban). Karena yang dimaksud dari ibadah itu adalah penyembelihannya. Ia adalah ibadah yang disandingkan dengan shalat. Allah berfirman, “Fashalli lirabbika wan-har.” Allah juga berfirman, “Qul Inna shalaatii wa nusukii..”[5]
Kriteria Hewan Yang Disembelih
Hewan yang disembelih dalam qurban adalah unta, sapi dan sejenisnya, kambing dan sejenisnya, baik jantan atau betina. Yang paling baik dalam urutan adalah; Unta, kemudian Sapi, lalu Kambing. Yang lebih utama dari masing-masing hewan itu adalah yang paling besar atau gemuk. Allah berfirman,
“Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari Ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32)
Dalam penafsiran sebagaian salaf, yang dimaksud oleh ayat ini adalah, membesarkan hewan yang akan disembelih tersebut, memilih yang gemuk dan bagus.[6]
Masing-masing dari hewan-hewan itu harus memenuhi standar minimal usia yang ditetapkan oleh syariat. Yaitu:
  • Domba 6 bulan, telah masuk bulan ke 7.
  • Kambing 1 tahun, telah masuk tahun ke 2
  • Sapi dan sejenisnya 2 tahun, telah masuk tahun ke 3.
  • Unta 5 tahun, telah masuk tahun ke 6.
Seseorang yang berkurban dengan hewan yang tidak memenuhi kriteria diatas, maka qurbannya dinyatakan tidak sah.
Satu ekor kambing cukup untuk satu orang dan keluarganya, termasuk untuk kedua orangtuanya, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia.
Aisyah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa satu ekor kambing untuk qurban, beliau mengambilnya, membaringkannya lalu menyembelihnya seraya berkata,  “Ya Allah, terima lah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan umat Muhammad.” (HR Muslim)
Adapun mengkhususkan qurban untuk yang sudah meninggal dunia, ini tidak termasuk sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak pernah berqurban secara khusus untuk kerabat-kerabatnya yang sudah meninggal. Untuk anak-anaknya yang telah wafat, untuk istrinya Khadijah dan Zainab, atau untuk pamannya Hamzah. Tidak pernah beliau melakukannya, karena ibadah qurban disyariatkan untuk orang yang masih hidup. Orang yang sudah meninggal, diikutkan dalam qurban yang dilakukan oleh orang yang masih hidup. Atau jika sebelum meninggal, seseorang telah berwasiat untuk berqurban untuknya, maka ini juga tidak apa-apa dalam rangka menunaikan wasiatnya.[7]
Dan satu ekor sapi atau unta dapat dijadikan hewan qurban untuk 7 orang yang berserikat.
Jabir mengatakan, “Kami menyembelih bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyyah satu ekor unta untuk 7 orang dan satu ekor sapi untuk 7 orang.”(HR Muslim)
Kecacatan dalam Hewan Qurban
Hewan qurban juga harus selamat dari kecacatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ لاَ تُجْزِئُ فِى الأَضَاحِىِّ الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرَةُ الَّتِى لاَ تُنْقِى
“Empat hal yang tidak boleh ada dalam hewan qurban, (1) Picak, yang jelas kepicakannya, (2) Sakit, yang jelas sakitnya, (3) Pincang yang jelas kepincangannya, (4) Kurus yang tidak ada dagingnya.” (HR Ibnu Majah)
Imam Nawawi berkata, “Mereka sepakat bahwa kecacatan-kecacatan yang disebutkan dalam hadis ini, yaitu sakit, kurus, picak dan pincang yang jelas semuanya, maka tidak sah berqurban dengannya. Begitupun yang satu makna dengannya atau yang lebih parah, seperti buta dan kakinya patah.”[8]
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يضحى بعضباء القرن والأذن
“Rasulullah juga melarang berqurban dengan hewan adhbaa` (putus setengah atau lebih) tanduk dan telinganya.” (HR Ahmad)
Hewan yang (1) Sudah dikebiri, (2) Tidak tumbuh tunduknya, (3) Kecil ukuran telinganya, (4) Tidak ada ekornya (baik putus atau tidak tumbuh) tidak apa-apa dan sah disembelih sebagai hewan qurban.
Hewan yang telinganya bolong, sobek, hilang tidak lebih dari setengahnya juga sah, namun makruh.
Waktu Penyembelihan
Awal waktu pelaksanaan qurban adalah setelah shalat dan khotbah pada hari nahr (10 dzulhijjah). Nabi bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka ia bukanlah termasuk ibadah sama sekali, ia hanyalah daging yang ia berikan untuk keluarganya saja.” (HR Bukhari Muslim)
Waktu penyembelihan berakhir pada saat matahari tenggelam di hari tasyriq yang terakhir, yaitu 13 dzulhijjah. Ali bin Abi Thalib berkata, “Hari-hari nahr (penyembelihan) adalah hari iedul adha dan tiga hari setelahnya.” Ini adalah pendapat Imam Ahli Bashrah Hasan, Imam Ahli Mekah Atho bin Abi Rabah, Imam Ahli Syam al Auza’I, Imam Fukaha Ahli Hadis Asy-Syafi’i. Ada juga pendapat yang lain. Ada yang mengatakan di hari nahr dan dua hari setelahnya. Ada yang mengatakan hanya di hari nahr. Ada juga yang mengatakan hanya satu hari di tempat-tempat yang lain, dan tiga hari di wilayah Mina. Maka, sedikitnya ada 4 pendapat dalam masalah ini, dan yang rajih adalah pendapat pertama.[9] Ini juga pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin.[10]
Larangan Mencukur Rambut dan Memotong Kuku bagi Yang Hendak berqurban
Bagi yang hendak berkurban, ia dilarang mengambil apa pun dari rambut atau bulu yang ada di badannya, juga memotong kukunya ketika masuk bulan dzulhijjah sampai ia menyembelih hewan qurbannya. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh sabda Nabi,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kalian telah melihat hilal di bulan dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian hendak berqurban, maka ia menahan rambut dan kukunya.” (HR Muslim) 
Jika seseorang melakukannya padahal ia akan melaksanakan qurban, maka ia harus beristighfar dan tidak ada fidyah.[11]
Seputar Adab Menyembelih
Kami kutipkan penjelasan Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta (Komite Tetap Untuk Riset dan Fatwa) berikut:[12]
“Binatang yang disembelih hukumnya mubah. Sementara bangkai hukumnya haram. Allah berfirman,
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.” (QS. Al Maidah [5]: 3)
Bangkai adalah hewan yang mati dengan cara tidak disembelih secara syar’i. Bangkai hukumnya haram dimakan berdasarkan ayat di atas. Kecuali hewan yang dikecualikan oleh sabda Nabi, “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dan dua darah. Dua bangkai adalah ikan dan belalang. Dan dua darah adalah hati dan limpa.” (HR. Ahmad 2/97, Ibnu Majah: 3314)
Ada empat syarat penyembelihan yang syar’i:
  1. Menyembelih dengan menggunakan alat tajam dari bahan apapun kecuali gigi dan kuku. Sesuai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hewan yang disembelih dan dibacakan nama Allah maka makanlah, kecuali (yang disembelih) dengan gigi dan kuku.” (HR Bukhari 3/110, Muslim 3/1558)
  2. Orang yang menyembelih harus berakal -walaupun seorang mumayyiz-, seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Sebagaimana firman Allah, “Makanan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu.” (QS. Al Maidah [5]: 5). Yang dimaksud makanan adalah sembelihan mereka, sebagaimana tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. (Shahih Al Bukhari 6/226-227)
  3. Memutus saluran pencernaan (al mariy), saluran pernapasan (al hulqum) dan dua urat saluran darah yang terletak di kedua sisi leher. Sesuai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hewan yang disembelih dan dibacakan nama Allah maka makanlah.” Semua yang harus diputus itu disebut al halq –selain unta- dan di sebut al lubbah untuk unta. Keduanya disebut al nahru.
  4. Membaca basmalah ketika tangan mulai bergerak untuk menyembelih. Hal ini sesuai firman Allah, “Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayatNya.” Sampai firman Allah, “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (QS. Al An’am [6]: 118-121). Jika seseorang tidak membaca basmalah secara sengaja, maka hewannya tidak halal. Karena salah satu syaratnya hilang. Namun jika ia lupa, maka ia halal. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sembelihan seorang muslim hukumnya halal, walaupun tidak diucapkan basmalah, kecuali jika sengaja (tidak mengucapkannya).” (HR. Said bin Manshur dalam sunannya)
Ada beberapa sunnah dalam menyembelih:
  1. Menajamkan alat untuk menyembelih dan membuat nyaman hewan. Sesuai sabda Nabi, “Sesungguhnya Allah menetapkan tindakan ihsan (baik) dalam segala sesuatu. Jika kalian membunuh, maka membunuhlah dengan ihsan, dan jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Dan hendaknya kalian menajamkan alat sembelihannya serta membuatnya nyaman.” (HR Muslim 3/1528, Abu Dawud 3/244, At Tirmidzi 4/23, An Nasai 7227)
  2. Menyembelih dengan kuat. Sesuai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan hendaknya kalian membuat nyaman hewan sembelihannya.”
  3. Tidak menajamkan/mengasah alat sembelihan sementara hewan yang akan disembelih melihatnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengasah alat sembelihan dan menghindar dari hewan. (HR Abdurrazaq 4/493 dengan mursal)
  4. Menghindarkan hewan sembelihan dari hewan-hewan yang lain ketika menyembelih, agar hewan-hewan yang lain tidak tersakiti karenanya. (HR Ahmad 2/108)
  5. Mengarahkannya ke arah kiblat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih sembelihan untuk kurban atau hadyu dan menghadapkannya ke arah kiblat. Adapun unta disembelih dalam keadaan berdiri dengan tangan kiri terikat. Firman Allah, “Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat)” (QS. Al Hajj [22]: 36)
  6. Menunda untuk memotong lehernya dan menguliti sampai hewan itu dingin; yaitu setelah ruhnya keluar. Sesuai hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Budail bin Warqa` al Khuza’i sambil menunggang unta berwarna abu-abu di jalan-jalan Mina seraya berteriak dengan kata-kata, “Ingatlah, jangan kalian tergesa-gesa menghilangkan nyawanya.” (HR Ad-Daraquthni 4/283)
Wa billahi at-taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa sahbihi wa sallim.
Ketua: Abdul aziz Aali Syaikh       Anggota: Abdullah bin Gudayan       Anggota: Shalih Al Fauzan
Dalam menyembelih hewan qurban, yang paling utama adalah menyembelih sendiri dengan tangannya, baik laki-laki atau wanita. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika ia ingin mewakilkannya kepada orang lain, maka hal ini pun tidak apa-apa, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan kepada Ali bin Abi Thalib proses penyembelihan hewan beliau.
Jika ia mewakilkannya kepada orang lain, yang lebih utama adalah ia menghadiri penyembelihan tersebut, karena sebagaimana yang telah dijelaskan, inti dari ibadah qurban itu adalah dalam hal penyembelihannya, bukan sekedar bersedekah dengan harta. Namun jika ia ingin menitipkan penyembelihan hewan qurbannya kepada orang lain atau pada suatu yayasan sosial yang terpercaya, maka ini pun tidak apa-apa dan qurbannya dinyatakan sah.
Apa yang Harus dilakukan Dengan Dagingnya?
Disunnahkan untuk membagi daging hewan menjadi tiga bagian.
(1) Sepertiga dimakan.
(2) Sepertiga dihadiahkan kepada siapa saja yang ia kehendaki.
(3) Sepertiga lagi disedekahkan kepada orang miskin.
Ibnu Mas’ud memerintahkan wakilnya yang diutus besama hewan hadyunya untuk disedekahkan sepertiga, dimakan sepertiga dan diberikan kepada keluarga saudaranya sepertiga.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah) Imam Ahmad berkata, “Kami mengikuti hadis Abdullah bin Mas’ud, dimakan sepertiga, diberikan kepada siapa saja sepertiga dan disedekahkan kepada orang miskin sepertiga.”[13]
Syaikh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin rahimahullah berkata, “Dalam tiga pembagian ini, terkumpul tiga tujuan syariat dalam berqurban:
Pertama, bersenang-senang dengan nikmat Allah, yaitu dengan cara memakannya.
Kedua, mengharap pahala Allah, yaitu dengan cara menyedekah-kannya.
Ketiga, sebagai bentuk kecintaan kepada hamba-hamba Allah, yaitu dengan cara menghadiahkannya.
Semua ini adalah nilai-nilai kebaikan yang tinggi, yang dituju oleh syariat.[14]
Jika dimakan lebih dari sepertiga boleh-boleh saja, karena pembagian tersebut adalah sunnah, bukan merupakan kewajiban. Namun, wajib disedekahkan walaupun hanya sedikit. Sesuai firman Allah,
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan[985] atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”(QS. Al Hajj: 28)
Hukum Memberi Upah Jagal dengan Bagian Hewan
Tidak diperbolehkan memberi upah jagal dengan sesuatu dari hewan qurban. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah memerintahkanku untuk menurus hewannya, agar aku menyedekahkan daging, kulit dan kain penutupnya, dan agar aku tidak memberi upah jagal darinya,” (HR Bukhari Muslim) ia berkata, “Kami memberinya dari kami sendiri.” (HR Muslim)
Jagal boleh diberi bagian dari hewan qurban sebagai sedekah karena ia miskin atau sebagai hadiah untuknya dari orang yang berqurban.
Hukum Menjual Bagian dari Hewan
Tidak diperbolehkan menjual bagian apapun dari hewan qurban, dan boleh memanfaatkan kulitnya. Karena segala sesuatu yang telah dipersembahkan untuk Allah, maka seluruh bagiannya sudah menjadi milik Allah dan tidak boleh dijual.
Wallahu waliyyut-taufiq,,
____________________________________

[1] Al Mufhashshal Fii Ahkaami Al Mar`ah wal Baitil Muslim: 2/445
[2] Zaadul Ma’aad: 2/289.
[3] Al Mufashshol, 2/446.
[4] Al Hadyu wal Udhhiyah, 11.
[5] Tuhfatu al Maulud, 65
[6] Syarh Umdah al Ahkam: 2/757
[7] Al Hadyu wa Al Udhhiyah, 12.
[8] Nailul Author
[9] Lihat Zaad al Ma’aad: 2/292
[10] Syarh Umdah al Fiqh: 2/768
[11] Al Mulakhkhash Al Fiqhy, 401.
[12] Fatawa al Lajnah al Da`imah, vol. 22, hal 353 – 360
[13] Syarh Umdah al Ahkam: 2/770
[14] Al Hadyu wa Al Udhhiyah: 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar