Kamis, 12 November 2015

Mensyukuri Nikmat Islam Yang Allah Subhanahu Wa Ta'ala Karuniakan Kepada Kita

Prinsif Dasar Islam
  MENSYUKURI NIKMAT ISLAM YANG ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA KARUNIAKAN KEPADA KITA




Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Allah Azza wa Jalla berfirman.

“Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” [Al-An’aam: 125]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman.

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” [Az-Zumar: 22]

Orang yang tidak mendapat hidayah akan senantiasa berada dalam kegelapan dan kerugian. Bagaimana jika seandainya seseorang tidak diberi hidayah oleh Allah Azza wa Jalla? Maka pasti ia menderita dalam kekafirannya, hidupnya sengsara dan tidak tenteram, serta di akhirat akan disiksa dengan siksaan yang abadi.[1] Allah Azza wa Jalla menunjuki hamba-Nya dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang melalui Rasul-Nya Shallalla ‘alaihi wa sallam. Untuk itu, kewajiban kita adalah mengikuti, meneladani dan mentaati Rasulullah Shallalla ‘alaihi wa sallam dalam segala perilaku kehidupan kita, jika kita menginginkan hidup di bawah cahaya Islam. Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwa Dia Azza wa Jalla telah memberikan karunia yang besar dengan diutusnya Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Azza wa Jalla berfirman.

"Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur-an) dan Hikmah (As-Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” [Ali ‘Imran: 164]

Setiap muslim niscaya meyakini bahwasanya karunia Allah Azza wa Jalla yang terbesar di dunia ini adalah agama Islam. Seorang muslim akan senantiasa bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberinya petunjuk ke dalam Islam dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah sendiri telah menyatakan Islam sebagai karunia-Nya yang terbesar yang Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

"Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untuk-mu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” [Al-Maa-idah: 3]

[A]. Kewajiban Kita Atas Karunia Yang Kita Terima
Sesungguhnya wajib bagi kita bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla dengan cara melaksanakan kewajiban terhadap-Nya. Setiap muslim wajib bersyukur atas nikmat Islam yang telah diberikan Allah Azza wa Jalla kepadanya. Jika seseorang yang tidak melaksanakan kewajibannya kepada orang lain yang telah memberikan sesuatu yang sangat berharga baginya, maka ia adalah orang yang tidak tahu berterima kasih. Demikian juga jika manusia tidak melaksanakan kewajibannya kepada Allah Azza wa Jalla , maka dia adalah manusia yang paling tidak tahu berterima kasih.

"Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” [Al-Baqarah: 152]

Kewajiban apakah yang harus kita laksanakan kepada Allah Azza wa Jalla yang telah memberikan karunia-Nya kepada kita? Jawabannya, karena Allah Azza wa Jalla telah memberikan karunia-Nya kepada kita dengan petunjuk ke dalam Islam, maka bukti terima kasih kita yang paling baik adalah dengan ber-ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla secara ikhlas, mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjauhkan segala bentuk kesyirikan, ittiba’ (mengikuti) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta taat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dengan hal itu kita menjadi muslim yang benar. Oleh karena itu, agar menjadi seorang muslim yang benar, kita harus menuntut ilmu syar’i. Kita harus belajar agama Islam karena Islam adalah ilmu dan amal shalih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla dengan membawa keduanya.

Allah Azza wa Jalla berfirman.

"Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur-an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” [At-Taubah: 33]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman.

"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [Al-Fat-h: 28]

Juga lihat Ash-Shaaff ayat 9.
Yang dimaksud dengan اَلْهُدَى (petunjuk) adalah ilmu yang bermanfaat, dan دِيْنُ الْحَقِّ (agama yang benar) adalah amal shalih. Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran dari kebathilan, menjelaskan Nama-Nama Allah, Sifat-Sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, serta memerintahkan semua yang bermanfaat bagi hati, ruh dan jasad. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Azza wa Jalla, mencintai-Nya, ber-akhlak dengan akhlak yang mulia, beramal shalih dan beradab dengan adab yang bermanfaat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perbuatan syirik, amal dan akhlak buruk yang membahaya-kan hati dan badan juga dunia dan akhirat.[2]

Cara untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu merupakan jalan yang lurus (ash-Shirathal Mustaqim) untuk memahami antara yang haq dan yang bathil, antara yang ma’ruf dan yang mungkar, antara yang bermanfaat dan yang mudharat (membahayakan), dan menuntut ilmu akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Seorang muslim tidaklah cukup hanya dengan menyata-kan ke-Islamannya tanpa memahami dan mengamalkannya. Pernyataannya itu haruslah dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam.

Untuk itu, menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi.
Seorang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu syar’i.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.”[3]
Menuntut ilmu adalah jalan menuju Surga.
Rasulullah j bersabda:
...مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ.
“...Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan dirinya dengannya jalan menuju Surga.”[4]

[B]. Pentingnya Ilmu Syar’i
Kita dan anak-anak kita akan tetap dan senantiasa ditambahkan ilmu, hidayah dan istiqamah di atas ketaatan jika kita beserta keluarga menuntut ilmu syar’i. Hal ini tidak boleh diabaikan dan tidak boleh dianggap remeh. Kita harus selalu bersikap penuh perhatian, serius serta sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Kita akan tetap berada di atas ash-Shiraathal Mustaqiim jika kita selalu belajar ilmu syar’i dan beramal shalih. Jika kita tidak mem-perhatikan dua hal penting ini, tidak mustahil iman dan Islam kita akan terancam bahaya. Sebab, iman kita akan terus berkurang dikarenakan ketidaktahuan kita tentang Islam dan iman, kufur, syirik, dan dengan sebab banyaknya dosa dan maksiyat yang kita lakukan! Bukankah iman kita jauh lebih berharga daripada hidup ini?
Dari sekian banyak waktu yang kita habiskan untuk bekerja, berusaha, bisnis, berdagang, kuliah dan lainnya, apakah tidak bisa kita sisihkan sepersepuluhnya untuk hal-hal yang dapat melindungi iman kita?

Saya tidaklah mengatakan bahwa setiap muslim harus menjadi ulama, membaca kitab-kitab tebal dan menghabiskan waktu belasan atau puluhan tahun untuk usaha tersebut. Namun, minimal setiap muslim harus dapat menyediakan waktunya satu jam saja setiap hari untuk mempelajari ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Itulah waktu yang paling sedikit yang harus disediakan oleh setiap muslim, baik remaja, pemuda, orang dewasa maupun yang sudah lanjut usia. Setiap muslim harus memahami esensi ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para Salafush Shalih. Oleh karena itu, ia harus tahu tentang agama Islam dengan dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah sehingga ia dapat mengamalkan Islam ini dengan benar. Tidak banyak waktu yang dituntut untuk memperoleh pengetahuan agama Islam. Jika iman kita lebih berharga dari segalanya, maka tidak sulit bagi kita untuk menyediakan waktu 1 jam (enam puluh menit) untuk belajar tentang Islam setiap hari dari waktu 24 jam (seribu empat ratus empat puluh menit).
Ilmu syar’i mempunyai keutamaan yang sangat besar dibandingkan dengan harta yang kita miliki.

[C]. Kemuliaan Ilmu Atas Harta [5]
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat th. 751 H) v menjelaskan perbedaan antara ilmu dengan harta, di antaranya sebagai berikut.

[1]. Ilmu adalah warisan para Nabi, sedang harta adalah warisan para raja dan orang kaya.
[2]. Ilmu menjaga pemiliknya, sedang pemilik harta menjaga hartanya.
[3]. Ilmu adalah penguasa atas harta, sedang harta tidak berkuasa atas ilmu.
[4]. Harta bisa habis dengan sebab dibelanjakan, sedangkan ilmu justru bertambah dengan diajarkan.
[5]. Pemilik harta jika telah meninggal dunia, ia berpisah dengan hartanya, sedangkan ilmu mengiringinya masuk ke dalam kubur bersama para pemiliknya.
[6]. Harta bisa didapatkan oleh siapa saja, baik orang ber-iman, kafir, orang shalih dan orang jahat, sedangkan ilmu yang bermanfaat hanya didapatkan oleh orang yang beriman saja.
[7]. Sesungguhnya jiwa menjadi lebih mulia dan bersih dengan mendapatkan ilmu, itulah kesempurnaan diri dan kemuliaannya. Sedangkan harta tidak membersihkan dirinya, tidak pula menambahkan sifat kesempurnaan dirinya, malah jiwanya menjadi berkurang dan kikir dengan mengumpulkan harta dan menginginkannya. Jadi keinginannya kepada ilmu adalah inti kesempurnaan-nya dan keinginannya kepada harta adalah ketidak-sempurnaan dirinya.
[8]. Sesungguhnya mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar seluruh ketaatan, sedangkan mencintai harta dan dunia adalah akar berbagai kesalahan.
[9]. Sesungguhnya orang berilmu mengajak manusia kepada Allah Azza wa Jalla dengan ilmunya dan akhlaknya, sedangkan orang kaya mengajak manusia ke Neraka dengan harta dan sikapnya.
[10]. Sesungguhnya yang dihasilkan dengan kekayaan harta adalah kelezatan binatang. Jika pemiliknya mencari kelezatan dengan mengumpulkannya, itulah kelezatan ilusi. Jika pemiliknya mengumpulkan dengan mengguna-kannya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya, itulah kelezatan binatang. Sedangkan kelezatan ilmu, ia adalah kelezatan akal plus ruhani yang mirip dengan kelezatan para Malaikat dan kegembiraan mereka. Di antara kedua kelezatan tersebut (kelezatan harta dan ilmu) terdapat perbedaan yang sangat mencolok.
Seorang muslim harus mengetahui tentang pengertian Islam, karena itu ia harus belajar tentang Islam, definisi, dan inti dari ajarannya yang mulia.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Psutaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
_________
Foote Note
[1]. Lihat surat Ali ‘Imran ayat 91 dan al-Maa-idah ayat 36-37.
[2]. Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiril Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H), cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. HR. Ibnu Majah (no. 224) dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, lihat Shahiih al-Jamii’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, Husain bin ‘Ali Radhiyallahu 'anhum oleh imam-imam ahli hadits lainnya dengan sanad yang shahih. Lihat kitab Takhriij Musykilatul Faqr (no. 86) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. IV/ Al-Maktab al-Islami, th. 1414 H.
[4]. HR. Muslim (no. 2699) dan selainnya, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
[5] Lihat al-‘Ilmu; Fadhluhu wa Syaraafuhu min Durari Kalami Syaikhul Islam Ibnul Qayyim, hal. 160-173, tahqiq wa ta’liq: Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari, cet. I, Majmu’ah at-Tuhaf an-Nafa-is ad-Dauliyah, th. 1416 H.

sumber almanhaj.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar