BETAPA PENTING MENYAMBUNG SILATURAHMI
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rohimahulloh
Marilah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Takwa yang juga dapat
mengantarkan kita pada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih
khusus lagi, yaitu sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga yang
masih ada hubungan nasab (anshab). Yang dimaksud, yaitu keluarga itu
sendiri, seperti ibu, bapak, anak lelaki, anak perempuan ataupun
orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari orang-orang sebelum
bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab. Adapun
kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki
hubungan rahim ataupun nasab.
Banyak cara untuk menyambung tali silaturahmi. Misalnya dengan cara
saling berziarah (berkunjung), saling memberi hadiah, atau dengan
pemberian yang lain. Sambunglah silaturahmi itu dengan berlemah lembut,
berkasih sayang, wajah berseri, memuliakan, dan dengan segala hal yang
sudah dikenal manusia dalam membangun silaturahmi. Dengan silaturahmi,
pahala yang besar akan diproleh dari Allah Azza wa Jalla. Silaturahim
menyebabkan seseorang bisa masuk ke dalam surga. Silaturahim juga
menyebabkan seorang hamba tidak akan putus hubungan dengan Allah di
dunia dan akhirat.
Disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari Abu Ayyûb al-Anshârî:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِمَا
يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ :
لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ ؟ فَأَعَادَ
الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ : تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ
شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ
فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ : إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ
دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Bahwasanya ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang
bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,” maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dia telah diberi
taufik,” atau “Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau
katakan?” Lalu orang itupun mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau beribadah kepada Allah
dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat,
membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi”. Setelah orang itu
pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika dia
melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga”.
Silaturahmi juga merupakan faktor yang dapat menjadi penyebab umur
panjang dan banyak rizki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan
umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”. [Muttafaqun
‘alaihi].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ
“Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang siapa yang
menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang
memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya”. [Muttafaqun
‘alaihi].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa
menyambung silaturahmi lebih besar pahalanya daripada memerdekakan
seorang budak. Dalam Shahîh al-Bukhâri, dari Maimûnah Ummul-Mukminîn,
dia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَشَعَرْتَ أَنِّي أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِي قَالَ
أَوَفَعَلْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا
أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau bahwa aku memerdekakan budakku?”
Nabi bertanya, “Apakah engkau telah melaksanakannya?” Ia menjawab, “Ya”.
Nabi bersabda, “Seandainya engkau berikan budak itu kepada
paman-pamanmu, maka itu akan lebih besar pahalanya”.
Yang amat disayangkan, ternyata ada sebagian orang yang tidak mau
menyambung silaturahmi dengan kerabatnya, kecuali apabila kerabat itu
mau menyambungnya. Jika demikian, maka sebenarnya yang dilakukan orang
ini bukanlah silaturahmi, tetapi hanya sebagai balasan. Karena setiap
orang yang berakal tentu berkeinginan untuk membalas setiap kebaikan
yang telah diberikan kepadanya, meskipun dari orang jauh.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Orang yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang menyambung
hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung
silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang
sudah terputus”. [Muttafaqun ‘alaihi].
Oleh karena itu, sambunglah hubungan silaturahmi dengan
kerabat-kerabat kita, meskipun mereka memutuskannya. Sungguh kita akan
mendapatkan balasan yang baik atas mereka.
Diriwayatkan, telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي
وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ
وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا
تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ
عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku menyambung hubungan
dengan mereka, akan tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada
mereka, akan tetapi mereka berbuat buruk terhadapku. Aku berlemah lembut
kepada mereka, akan tetapi mereka kasar terhadapku,” maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau benar demikian,
maka seakan engkau menyuapi mereka pasir panas, dan Allah akan
senantiasa tetap menjadi penolongmu selama engkau berbuat demikan.”
[Muttafaq ‘alaihi].
Begitu pula firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ
وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي
الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh
dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan
mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan
dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)”.
[ar-Ra’d/13:25].
Dari Jubair bin Mut’im bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
“Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus, ( memutus tali silaturahmi)”. [Mutafaqun ‘alaihi].
Memutus tali silaturahmi yang paling besar, yaitu memutus hubungan
dengan orang tua, kemudian dengan kerabat terdekat, dan kerabat terdekat
selanjutnya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قُلْنَا
بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ
الْوَالِدَيْنِ
”Maukah kalian aku beritahu tentang dosa terbesar di antara dosa-dosa
besar?” Beliau mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Maka para
sahabat menjawab: ”Mau, ya Rasulullah,” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: ”Berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua
orang tua”.
Demikianlah, betapa besar dosa seseorang yang durhaka kepada orang
tua. Dosa itu disebutkan setelah dosa syirik kepada Allah Ta’ala.
Termasuk perbuatan durhaka kepada kedua orang tua, yaitu tidak mau
berbuat baik kepada keduanya. Lebih parah lagi jika disertai dengan
menyakiti dan memusuhi keduanya, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Dalam shahîhain, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا
الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ
”Termasuk perbuatan dosa besar, yaitu seseorang yang menghina orang
tuanya,” maka para sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah, adakah orang
yang menghina kedua orang tuanya sendiri?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: ”Ya, seseorang menghina bapak orang lain, lalu orang
lain ini membalas menghina bapaknya. Dan seseorang menghina ibu orang
lain, lalu orang lain ini membalas dengan menghina ibunya”.
Wahai orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla. Dan marilah kita melihat diri
kita masing-masing, sanak keluarga kita! Sudahkah kita menunaikan
kewajiban atas mereka dengan menyambung tali silaturahmi? Sudahkah kita
berlemah lembut terhadap mereka? Sudahkah kita tersenyum tatkala bertemu
dengan mereka? Sudahkah kita mengunjungi mereka? Sudahkah kita
mencintai, memuliakan, menghormati, saling menunjungi saat sehat, saling
menjenguk ketika sakit? Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekedar
meringankan yang mereka butuhkan?
Ada sebagian orang tidak suka melihat kedua orang tuanya yang dulu
pernah merawatnya kecuali dengan pandangan yang menghinakan. Dia
memuliakan istrinya, tetapi melecehkan ibunya. Dia berusaha mendekati
teman-temannya, akan tetapi menjahui bapaknya. Apabila duduk dengan
kedua orang tuanya, maka seolah-olah ia sedang duduk di atas bara api.
Dia berat apabila harus bersama kedua orang tuanya. Meski hanya sesaat
bersama orang tua, tetapi ia merasa begitu lama. Dia bertutur kata
dengan keduanya, kecuali dengan rasa berat dan malas. Sungguh jika
perbuatannya demikian, berarti ia telah mengharamkan bagi dirinya
kenikmatan berbakti kepada kedua orang tua dan balasannya yang terpuji.
Ada pula manusia yang tidak mau memandang dan menganggap sanak
kerabatanya sebagai keluarga. Dia tidak mau bergaul dengan karib
kerabat dengan sikap yang sepantasnya diberikan sebagai keluarga. Dia
tidak mau bertegus sapa dan melakukan perbuatan yang bisa menjalin
hubungan silaturahmi. Begitu pula, ia tidak mau menggunakan hartanya
untuk hal itu. Sehingga ia dalam keadaan serba kecukupan, sedangkan
sanak keluarganya dalam keadaan kekurangan. Dia tidak mau menyambung
hubungan dengan mereka. Padahal, terkadang sanak keluarga itu termasuk
orang-orang yang wajib ia nafkahi karena ketidakmampuannya dalam
berusaha, sedangkan ia mampu untuk menafkahinya. Akan tetapi, tetap saja
ia tidak mau menafkahinya.
Para ahlul-‘ilmi telah berkata, setiap orang yang mempunyai hubungan
waris dengan orang lain, maka ia wajib untuk memberi nafkah kepada
mereka apabila orang lain itu membutuhkan atau lemah dalam mencari
penghasilan, sedangkan ia dalam keadaan mampu. Yaitu sebagaimana yang
dilakukan seorang ayah untuk memberikan nafkah. Maka barang siapa yang
bakhil maka ia berdosa dan akan dihisab pada hari Kiamat.
Oleh karena itu, tetap sambungkanlah tali silaturahmi.
Berhati-hatilah dari memutuskannya. Masing-masing kita akan datang
menghadap Allah dengan membawa pahala bagi orang yang menyambung tali
silaturahmi. Atau ia menghadap dengan membawa dosa bagi orang yang
memutus tali silaturahmi. Marilah kita memohon ampun kepada Allah
Ta’ala, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[Diadaptasi oleh Ustadz Abu Sauda` Eko Mas`uri, dari ad-Dhiyâ-ul Lâmi’, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, hlm. 505-508]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M.] sumber : almanhaj.or.id