Allah berfirman:
{مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ
يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ
أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ.
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا اللَّهَ
فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ}
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun)
selain Allah, maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang
selalu mendapat petunjuk (dari Allah )” (QS At-Taubah: 18).
Ayat yang mulia ini menunjukkan besarnya keutamaan memakmurkan masjid
yang didirikan karena Allah , dalam semua bentuk pemakmuran masjid,
bahkan perbuatan terpuji ini merupakan bukti benarnya iman dalam hati
seorang hamba.
Imam al-Qurthubi berkata: “Firman Allah ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa mempersaksikan orang-orang yang memakmurkan masjid dengan keimanan adalah (persaksian yang) benar, karena Allah mengaitkan keimanan dengan perbuatan (terpuji) ini dan mengabarkan tentanganya dengan menetapi perbuatan ini. Salah seorang ulama Salaf berkata: Jika engkau melihat seorang hamba (yang selalu) memakmurkan masjid maka berbaiksangkalah kepadanya”[1].
Ada hadits dari Rasulullah shalallahu'alaihi wasalam yang menyebutkan hal ini, diriwayatkan
oleh Imam at-Tirmidzi (5/12 dan 277), Ibnu Majah (no. 802), Ahmad (3/68
dan 76) dan al-Hakim (1/322 dan 2/363) dari Abu Sa’id al-Khudri t bahwa
Rasulullah r bersabda: “Jika engkau melihat seorang hamba yang selalu
mengunjungi masjid maka persaksikanlah keimanannya”, kemudian Rasulullah
membaca ayat tersebut di atas.
Akan tetapi hadits ini lemah karena dalam sanadnya ada rawi yang
bernama Darraj bin Sam’an Abus samh al-Mishri, dia meriwayatkan hadits
ini dari Abul Haitsam Sulaiman bin ‘Amr al-Mishri, dan riwayatnya dari
Abul Haitsam lemah, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu hajar al-‘Asqalani[2].
Hadits ini dinyatakan lemah oleh Imam adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani karena rawi di atas[3].
Karena hadits ini lemah, maka tentu tidak bisa dijadikan sebagai
sandaran dan argumentasi yang menunjukkan keutamaan di atas, tapi
cukuplah firman Allah Y di atas dan hadits-hadits lain yang shahih dari
Rasulullah yang menunjukkan keutamaan tersebut.
Misalnya, hadits riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
“Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan
(Arsy)-Nya pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali
naungan-Nya… (di antaranya): Seorang hamba yang hatinya selalu terikat
dengan masjid”[4].
Imam an-Nawawi berkata: “Artinya: dia sangat mencintai masjid dan selalu menetapinya untuk melaksanakan shalat berjamaah”[5].
Hakikat memakmurkan masjid
Makna memakmurkan masjid adalah menetapinya untuk
melaksanakan ibadah di dalamnya dalam rangka mencari keridhaan-Nya,
misalnya shalat, berdzikir kepada Allah dan mempelajari ilmu agama.
Juga termasuk maknanya adalah membangun masjid, menjaga dan
memeliharanya[6].
Dua makna inilah yang diungkapkan oleh para ulama Ahli tafsir ketika
menafsirkan ayat dia atas. Imam Ibnul Jauzi berkata: “Yang dimaksud
dengan memakmurkan masjid (dalam ayat di atas) ada dua pendapat:
1- Selalu mendatangi masjid dan berdiam di dalamnya (untuk beribadah kepada Allah )
2- Membangun masjid dan memperbaikinya”[7].
Maka hakikat memakmurkan masjid adalah mencakup
semua amal ibadah dan ketaatan kepada Allah yang diperintahkan atau
dianjurkan dalam Islam untuk dilaksanakan di masjid.
Oleh karena itu, tentu saja shalat berjamaah lima waktu di masjid
bagi laki-laki adalah termasuk bentuk memakmurkan masjid, bahkan inilah
bentuk memakmurkan masjid yang paling utama.
Imam Ibnu Katsir menukil dengan sanad beliau ucapan shahabat yang
mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas , beliau berkata: “Barangsiapa yang
mendengar seruan adzan untuk shalat (berjamaah) kemudian dia tidak
menjawabnya dengan mendatangi masjid dan shalat (berjamaah), maka tidak
ada shalat baginya dan sungguh dia telah bermaksiat (durhaka) kepada
Allah dan Rasul-Nya”. Kemudian ‘Abdullah bin ‘Abbas membaca ayat
tersebut di atas[8].
Sebaliknya, semua perbuatan yang bertentangan dengan petunjuk Allah
dan Rasul-Nya, meskipun dihadiri oleh banyak orang dan menjadikan
masjid penuh dan ramai, maka semua ini tidaklah termasuk memakmurkan
masjid. Seperti pelaksanaan acara-acara bid’ah[9]
yang dilakukan di beberapa masjid kaum muslimin oleh orang-orang yang
jahil, apalagi jika dalam acara tersebut terdapat unsur kesyirikan
(menyekutukan Allah ) dan hal-hal yang bertentangan dengan aqidah Islam
yang lurus.
Imam Ibnu Katsir berkata: “Bukanlah yang dimaksud dengan memakmurkan
masjid-masjid Allah hanya dengan menghiasi dan mendirikan fisik
(bangunan)nya saja, akan tetapi memakmurkannya adalah dengan berdzikir
kepada Allah dan menegakkan syariat-Nya di dalamnya, serta
membersihkannya dari kotoran (maksiat) dan syirik (menyekutukan Allah )”[10].
Demikian pula, perbuatan yang dilakukan oleh sebagian dari
orang-orang awam ketika mendirikan masjid, dengan berlebih-lebihan
menghiasi dan meninggikannya, sehingga mengeluarkan biaya yang sangat
besar, bukan untuk memperluas masjid sehingga bisa menampung jumlah kaum
muslimin yang banyak ketika shalat berjamaah, tapi hanya untuk
menghiasi dan mempertinggi bangunan fisiknya.
Perbuatan ini jelas-jelas bertentangan dengan petunjuk Allah yang
diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya , sebagaimana yang dinyatakan dalam
beberapa hadits shahih berikut:
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda: “Tidaklah terjadi hari kiamat sampai manusia berbangga-bangga dengan masjid”[11].
Arti “berbangga-bangga dengan masjid” adalah membanggakan indahnya
bangunan, hiasan, ukiran dan tinggi bangunan masjid, supaya terlihat
lebih indah dan megah dibandingkan dengan masjid-masjid yang lain[12].
Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan ini diharamkan dalam Islam
karena perbuatan ini dikaitkan dengan keadaan di akhir jaman sebelum
terjadinya hari kiamat, yang waktu itu tersebar berbagai macam kerusakan
dan keburukan, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hadits shahih
lainnya[13].
Dalam hadits lain, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas bahwa Rasulullah
bersabda: “Aku tidak diperintahkan untuk menghiasi (atau meninggikan
bangunan) masjid (secara berlebihan)”. ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata:
(Artinya) menghiasinya seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani menghiasi
(tempat-tempat ibadah mereka)[14].
Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut di atas haram
hukumnya dalam Islam, karena menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi dan
Nashrani dan ini dilarang oleh Rasulullah dalam sabda beliau :
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk (bagian) dari
mereka”[15].
Bahkan perbuatan ini bertentangan dengan petunjuk sunnah Rasulullah dan termasuk bid’ah, ditambah lagi dengan pemborosan harta untuk biaya hiasan dan peninggian bangunan tersebut, serta hilangnya kekhusyu’an dalam ibadah akibat dari hiasan-hiasan yang melalaikan hati tersebut, padahal khusyu’ adalah ruh ibadah[16].
Berdasarkan keterangan di atas, maka yang sesuai dengan sunnah Rasulullah dalam mendirikan masjid adalah memilih yang sederhana dalam bangunan dan hiasan masjid.
Imam Ibnu Baththal dan para ulama lain berkata: “Dalam hadits di atas
terdapat dalil (yang menunjukkan) bahwa (yang sesuai dengan) sunnah
Rasulullah dalam mendirikan masjid adalah (bersikap) sederhana dan
tidak berlebih-lebihan dalam menghiasinya. Sungguh ‘Umar bin al-Khattab
di jaman (kekhalifahan) beliau, meskipun banyak negeri musuh yang
ditaklukkan dan ada kelapangan harta, tapi beliau tidak merubah Masjid
Nabawi dari keadaannya semula… Lalu di jaman (kekhalifahan) ‘Utsman bin
‘Affan yang waktu itu harta lebih banyak, tapi beliau hanya
memperindah (menambah luas) Masjid Nabawi tanpa menghiasinya (secara
berlebihan)”[17].
Bercermin pada Masjidil haram dan Masjid Nabi
Sebaik-baik masjid yang ada di muka bumi ini adalah dua masjid yang
berada di dua kota suci dan paling dicintai oleh Allah , yaitu Mekkah
dan Madinah.
Masjidul haram dan Masjid Nabawi adalah dua masjid yang paling
dirindukan oleh orang-orang yang beriman dan paling pantas untuk
dimakmurkan dengan berbagai macam ibadah yang disyariatkan dalam Islam,
seperti thawaf dan sa’i ketika melaksanakan ibadah haji atau ‘umrah di
Masjidil haram, melaksanakan shalat di kedua masjid tersebut, dan
ibadah-ibadah agung lainnya.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Shalat di masjidku
ini (Masjid Nabawi) lebih utama daripada seribu (kali) shalat di masjid
lain kecuali Masjidil haram”[18].
Dalam riwayat lain dari Jabir bin ‘Abdillah ada tambahan: “… Dan
shalat di Masjidil haram lebih utama daripada seratus seribu (kali)
shalat di masjid lain”[19].
Bahkan kerinduan untuk mengunjungi dan memakmurkan dua masjid mulia
ini merupakan bukti benarnya iman yang ada di hati seorang hamba.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya iman
akan selalu kembali (berkumpul) di kota Madinah sebagaimana ular yang
selalu kembali ke lubang (sarang)nya”[20].
Dalam riwayat lain dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah
bersabda: “… Agama Islam akan selalu kembali (berkumpul) di dua masjid
(Masjidul haram dan Masjid Nabawi) sebagaimana ular yang selalu kembali
ke lubang (sarang)nya”[21].
Khusus yang berhubungan dengan “memakmurkan masjid”, sebagian dari para ulama mengatakan bahwa ibadah ‘umrah secara bahasa asalnya diambil dari kata “memakmurkan Masjidil haram”[22],
ini menunjukkan bahwa masjid inilah yang paling pantas untuk selalu
dikunjungi dan dimakmurkan dengan ibadah-ibadah yang disyariatkan dalam
Islam.
Dan memang pada kenyataannya, dari dulu sampai sekarang, kedua masjid
inilah yang selalu menjadi teladan dalam ‘kemakmuran masjid’ karena
banyaknya kegiatan-kegiatan ibadah agung yang dilaksanakan di dalamnya.
Seperti maraknya majelis ilmu yang bermanfaat di beberapa tempat di
dalam dua masjid tersebut, dengan nara sumber para ulama yang terpercaya
dalam ilmu mereka. Demikian pula halaqah-halaqah tempat para penghafal
al-Qur’an maupun orang-orang yang belajar membacanya dengan benar, di
hampir setiap sudut masjid. Belum lagi kegiatan ibadah seperti
shalat-shalat sunnah, berdzikir kepada Allah , membaca al-Qur’an hanya
marak dilakukan di siang dan malam hari, dalam rangka mencari keutamaan
yang berlipat ganda yang Allah khususkan bagi dua masjid mulia ini.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasuluillah bersabda: “Barangsiapa yang
mendatangi masjidku ini, tidak lain kecuali untuk mempelajari atau
mengamalkan kebaikan maka dia akan mendapatkan kedudukan seperti orang
yang berjihad di jalan Allah”[23].
Khususnya di Masjidil haram, kegiatan ibadah thawaf dan sa’i yang
bisa dikatakan tidak pernah terputus dilakukan, baik ketika musim haji
ataupun di waktu lain untuk ‘umrah. Bahkan kegiatan thawaf sunnah hanya
terhenti ketika dikumandangkan iqamah untuk pelaksanaan shalat berjamaah lima waktu.
Bagi orang yang pernah melaksanakan ibadah ‘umrah dan mengunjungi dua
masjdi tersebut di bulan Ramadhan, tentu akan selalu terkenang dengan
sifat dermawan yang ditunjukkan di dua masjid tersebut, utamanya di
Masjid Nabawi, berupa suguhan berbagai macam makanan lezat untuk berbuka
puasa yang memenuhi seluruh masjid dari depan sampai belakang, mulai
dari kurma, air zam-zam, roti, yogurt, Haisah[24] dan lain-lain. Khusus untuk di halaman Masjid, makanan berupa nasi ‘Arab denga lauk ayam bakar, daging kambing dan lain-lain.
Bahkan lebih dari itu, para penyedia makanan untuk berbuka puasa
tersebut menugaskan beberapa orang, biasanya anak-anak kecil, untuk
memanggil dan membujuk orang-orang yang berada di masjid tersebut atau
orang-orang yang lewat untuk bersedia berbuka puasa di tempat yang
mereka sediakan.
Subhanallah! Mereka benar-benar ingin mengamalkan sabda
Rasulullah : “Barangsiapa yang memberi makan orang lain untuk berbuka
puasa maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu
tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun”[25].
Dan masih banyak kegiatan-kegiatan ibadah agung lain yang marak
terlihat di dua masjid mulia ini dan tentu tidak bisa dipaparkan semua.
Masjid yang tidak boleh dimakmurkan bahkan wajib dijauhi dan dihancurkan
Allah berfirman:
{وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا
ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا
لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ
أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ. لا
تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ
يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ}
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang
mendirikan masjid untuk menimbulkan keburukan (pada orang-orang mu’min),
untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta
menunggu/membantu kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sungguh bersumpah: “Kami tidak
meng-hendaki selain kebaikan”, dan Allah menjadi saksi bahwa
sesungguhnya mereka itu adalah pen-dusta. Janganlah kamu shalat dalam mesjid itu selama-lamanya!” (QS At-Taubah: 107-108).
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan keberadaan masjid-masjid yang
didirikan untuk tujuan yang buruk dan bukan untuk mencari keridhaan
Allah . Inilah yang disebut sebagai “Masjid dhirar”.
Maka Allah melarang Rasul-Nya dan seluruh umat Islam untuk shalat di masjid seperti itu selama-lamanya[26].
Inilah masjid yang tidak boleh dikunjungi dan dimakmurkan bahkan wajib dijauhi dan dihancurkan[27],
karena didirikan untuk tujuan yang buruk, seperti memecah belah kaum
muslimin, menyebarkan ajaran sesat dan amalan bid’ah, serta
tujuan-tujuan buruk lainnya[28].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Termasuk dalam kandungan
(ayat) di atas adalah orang yang mendirikan bangunan yang menyerupai
masjid-masjid kaum muslimin, (tapi) bukan untuk melaksanakan
ibadah-ibadah yang disyariatkan (dalam Islam), seperti kuburan-kuburan
yang dikeramatkan dan lain-lain. Terlebih lagi jika di dalamnya terdapat
keburukan, kekafiran, (upaya) memecah belah kaum mu’minin, tempat yang
disediakan untuk orang-orang munafik dan ahli bid’ah yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, dan hal-hal yang mendukungnya. Maka bangunan (masjid) ini serupa dengan “Masjid dhirar”[29].
Penutup
Semoga Allah menjadikan tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi
bagi kita semua untuk selalu bersegera dalam kebaikan dalam rangka
mencari keridhaan-Nya.
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah
dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha
sempurna, agar Dia menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang
selalu memakmurkan masjid-masjid Allah dan meraih kesempurnaan iman
dengan taufik-Nya. Sesungguhnya Dia maha mendengar lagi maha
mengabulkan do’a.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 6 Muharram 1437 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Kitab “Tafsir al-Qurthubi” (8/83).
[2] Dalam kitab “Taqriibut tahdziib” (hlmn 201).
[3] Lihat kitab “Tamaamul minnah” (hlmn 291-292).
[4] HSR al-Bukhari (no. 1357) dan Muslim (no. 1031).
[5] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam “Syarah shahih Muslim” (7/121).
[6] Lihat kitab “Aisarut tafaasiir” (2/66).
[7] Kitab “Zaadul masiir” (3/408).
[8] Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (2/449).
[9]
Yaitu semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan
diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah r.
[10] Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (1/216).
[11]
HR Ahmad (3/134), Abu dawud (no. 449), Ibnu Khuzaimah (2/282), Ibnu
Hibban (4/493) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, as-Suyuthi dan Syaikh al-Albani (Shahiihul
jaami’ no. 7421).
[12] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (2/84) dan “Taudhiihul ahkaam” (2/137).
[13] Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdullah al-Bassam dalam kitab “Taudhiihul ahkaam” (2/138).
[14]
HR Abu dawud (no. 448) dan Ibnu Hibban (4/493) dan lain-lain,
dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban, as-Suyuthi dan Syaikh al-Albani
(Shahiihul jaami’ no. 5550).
[15] HR Abu dawud (no. 4031) dan Ahmad (2/50), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[16] Lihat kitab “Taudhiihul ahkaam” (2/139-140).
[17] Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab “Fathul Baari” (1/540).
[18] HSR al-Bukhari (1/398) dan Muslim (no. 1394).
[19] HR Ahmad (3/343) dan Ibnu Majah (no. 1406), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[20] HSR al-Bukhari (2/663) dan Muslim (no. 147).
[21] HSR Muslim (no. 146).
[22] Lihat kitab “Fathul Baari” (3/597).
[23] HR Ahmad (3/343) dan Ibnu Majah (no. 1406), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[24]
Makanan khas ‘Arab yang terbuat dari campuran dan adonan kurma kering,
tepung, keju dan minyak samin (lihat kitab “’Aunul Ma’buud” 13/260).
[25] HR Ibnu Majah (no. 227), dinyatakan shahih oleh Imam al-Bushiri dan Syaikh al-Albani.
[26] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/510).
[27] Lihat kitab “Majmu’ul fataawa” (27/140 dan kitab “Zaadul ma’aad” (3/480).
[28] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi tafsiiri kalaamin Mannaan” (hlmn 351).
[29] Kitab “Iqtidhaa-ush shiraathil mustaqiim” (1/431).
sumber manisnyaiman.com